Asuransi Jiwa Buana Putra selamat dari kepailitan



JAKARTA. PT Asuransi Jiwa Buana Putra bisa kini bisa bernafas lega. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan tidak dapat menerima permohonan kepailitan yang diajukan para nasabahnya.

"Menyatakan permohonan kepailitan yang diajukan pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua Majelis Hakim Nur Ali saat membacakan putusannya, Kamis (21/3).

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim mengacu pada pasal 2 ayat 5 UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Disebutkan permohonan kepailitan terhadap perusahaan asuransi hanya dapat diajukan Menteri Keuangan.


"Sedangkan yang mengajukan kreditur perorangan. Sehingga tidak berhak mengajukan. Oleh karen itu tidak diterima," katanya.

Terkait putusan ini, kuasa hukum Asuransi Jiwa Buana Putra Diana Thoha menjelaskan, putusan telah sesuai dengan keinginan kliennya. Kepailitan dapat diajukan hanya oleh Menkeu, atau melalui persetujuan Menkeu.

Terlepas dari itu, Diana menuturkan, pihaknya memiliki keinginan untuk menyelesaikan pembayaran premi. "Kami tengah berusaha eksekusi tanah di Pulo Gadung. Nanti hasilnya untuk melunasi premi," ujarnya.

Sementara itu, Elvi Noor kuasa hukum nasabah mengaku kecewa dan berencana mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). "Ada dalil kami yang tidak dipertimbangkan. Terutama pasal 30 UU tentang OJK yang menegaskan pembelaan hukum konsumen keuangan," ujarnya.

Sebagai informasi, Tuti Supriati, salah satu nasabah Asuransi Jiwa Buana Putra menggugat pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Kasus berawal saat Tuti menjadi pemegang polis dari polis asuransi Dwiguna Bertahap Khusus yang diterbitkan oleh asuransi Jiwa Buana Putra.

Berdasarkan polis nomor 186894 tertanggal 28 Juli 1993 dengan masa pertanggungan selama 15 tahun yang mulai efektif berlaku sejak 1 Juli 1993. Tuti pun memenuhi kewajibannya melakukan pembayaran premi setiap tahunnya ke asuransi Jiwa Buana Putra.

Dengan rincian, periode Juli 1993 sampai Juni 1994 sebesar Rp217.625, periode Juli 1994 sampai Juni 1995 sebesar Rp235.800, dan periode Juli 1995 sampai Juni 1996 sebesar Rp256.600.

Mengacu pada Polis No.186894 diatur bahwa dalam masa pertanggungan selama Tuti masih hidup, maka Tuti memiliki hak untuk menerima pembayaran pertanggungan asuransi dari asuransi Jiwa Buana Putra setiap bulan Juli pada tahun 1996, 1999, 2002, 2005, dan 2008 sebesar Rp500.000.

Sejauh ini, asuransi Jiwa Buana Putra hanya memenuhi kewajiban pembayaran pertanggungan pada tahun 1996 saja. Selanjutnya untuk 1999 sampai 2008 sama sekali kewajibannya tidak dilakukan tanpa alasan yang jelas.

Tuti mengaku sudah beberapa kali memperingatkan lisan baik tulisan perihal ini. Sampai berkas permohonan ini diajukan ke Pengadilan, total utang pembayaran pertanggungan asuransi yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih mencapai Rp2 juta.

Itu belum termasuk bunga sebesar 30% sejak tahun 1999 yang mencapai Rp8,4 juta. Kemudian ditambah segala biaya Tuti dalam rangka menuntut haknya selama ini mencapai Rp12 juta. Sehingga total kewajiban yang atau utang asuransi Jiwa Buana Putra mencapai Rp22,4 juta.

Dalam berkas permohonannya, Tuti juga menyampaikan bahwa asuransi Jiwa Buana Putra terhitung sejak 5 April 2007 telah dicabut izin usahanya oleh Menteri Keuangan melalui SK No.Kep-053/KM.10/2007. Dengan kata lain tidak ada alasan permohonannya kepailitannya tidak dikabulkan pengadilan.

Tak hanya itu, untuk memuluskan langkahnya mempailitkan asuransi Jiwa Buana Putra sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan dan PKPU. Tuti melampirkan empat nasabah lainnya yang bertindak selaku kreditur lainnya yang memiliki tagihan utang ke Buana Putra.

Keempat nasabah itu yakni, Yunus Yuliawan, Joeliarman Bakir, Sumedi yang ketiganya warga Depok dan Suswanto warga Klender Jakarta Timur.

Selain meminta pengadilan menyatakan asuransi Jiwa Buana Putra pailit, Tuti juga meminta supaya mengangkat Reza Syafa'at Rizal selaku kurator yang nantinya bertanggung jawab dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri