JAKARTA. Rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan besaran iuran 0,03% - 0,06% menuai keberatan dari industri asuransi. Sebab nilainya dianggap kemahalan dan memberatkan. Selain itu seharusnya pungutan tidak berdasarkan aset melainkan pendapatan usaha.Julian Noor, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAUI) mengaku kaget dengan usulan besaran tersebut. "Lebih besar dari yg selama ini kami perkirakan," ujar Julian pada Kamis (22/11). AAUI akan mengadakan pertemuan dengan anggota untuk membahas usulan itu. Benny Waworuntu, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menambahkan, angka itu kemahalan bagi industri asuransi. Seharusnya perhitungan tidak hanya menggunakan aset. "Tapi dikaitkan dengan revenue," ujarnya lewat pesan singkat. Menurut Benny, aset tidak bisa dijadikan patokan karena kondisinya berbalikan. Misalnya, bisa saja aset besar tapi pendapatan bisnis sedang turun. Hary Prasetyo, Direktur Keuangan Jiwasraya menggungkapkan hal senada. "Kalau dari net income akan sangat tergantung dari performance, jadi lebih fair," terangnya. Apalagi tahun depan adalah pertama kalinya industri asuransi dipungut setoran. Alhasil akan menambah beban perusahaan asuransi karena harus mengeluarkan dana tambahan.Dalam hal ini, Chief Financial Officer AXA Mandiri Financial Service Iwan Pasila mengusulkan untuk memisahkan aset dari portofolio investasi dan non investasi. Ia mengaitkannya dengan PMK tentang Good Corporate Governance. Tujuannya agar biaya aset tidak terlihat besar sehingga pelaku harus bayar besar. "Mungkin bisa dikaitkan juga dengan pemenuhan ini," saran Iwan.Sebagai gambaran, OJK akan mengenakan iuran 0,03%-0,06% dari aset yang dimiliki setelah diaudit. Iuran ini berlaku bagi bank umum, bank perkreditan rakyat, bank pembiayaan rakyat syariah, asuransi jiwa, asuransi umum, reasuransi, dana pensiun lembaga keuangan, dan dana pensiun pemberi kerja. Besaran yang sama juga berlaku bagi lembaga pembiayaan yaitu perusahaan pembiayaan, perusahaan modal ventura, dan perusahaan pembiayaan infrastruktur serta lembaga jasa keuangan lainnya yaitu Pegadaian, perusahaan penjaminan, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, dan perusahaan pembiayaan sekunder perumahan.
Asuransi kaget, iuran OJK terlalu mahal
JAKARTA. Rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan besaran iuran 0,03% - 0,06% menuai keberatan dari industri asuransi. Sebab nilainya dianggap kemahalan dan memberatkan. Selain itu seharusnya pungutan tidak berdasarkan aset melainkan pendapatan usaha.Julian Noor, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAUI) mengaku kaget dengan usulan besaran tersebut. "Lebih besar dari yg selama ini kami perkirakan," ujar Julian pada Kamis (22/11). AAUI akan mengadakan pertemuan dengan anggota untuk membahas usulan itu. Benny Waworuntu, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menambahkan, angka itu kemahalan bagi industri asuransi. Seharusnya perhitungan tidak hanya menggunakan aset. "Tapi dikaitkan dengan revenue," ujarnya lewat pesan singkat. Menurut Benny, aset tidak bisa dijadikan patokan karena kondisinya berbalikan. Misalnya, bisa saja aset besar tapi pendapatan bisnis sedang turun. Hary Prasetyo, Direktur Keuangan Jiwasraya menggungkapkan hal senada. "Kalau dari net income akan sangat tergantung dari performance, jadi lebih fair," terangnya. Apalagi tahun depan adalah pertama kalinya industri asuransi dipungut setoran. Alhasil akan menambah beban perusahaan asuransi karena harus mengeluarkan dana tambahan.Dalam hal ini, Chief Financial Officer AXA Mandiri Financial Service Iwan Pasila mengusulkan untuk memisahkan aset dari portofolio investasi dan non investasi. Ia mengaitkannya dengan PMK tentang Good Corporate Governance. Tujuannya agar biaya aset tidak terlihat besar sehingga pelaku harus bayar besar. "Mungkin bisa dikaitkan juga dengan pemenuhan ini," saran Iwan.Sebagai gambaran, OJK akan mengenakan iuran 0,03%-0,06% dari aset yang dimiliki setelah diaudit. Iuran ini berlaku bagi bank umum, bank perkreditan rakyat, bank pembiayaan rakyat syariah, asuransi jiwa, asuransi umum, reasuransi, dana pensiun lembaga keuangan, dan dana pensiun pemberi kerja. Besaran yang sama juga berlaku bagi lembaga pembiayaan yaitu perusahaan pembiayaan, perusahaan modal ventura, dan perusahaan pembiayaan infrastruktur serta lembaga jasa keuangan lainnya yaitu Pegadaian, perusahaan penjaminan, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, dan perusahaan pembiayaan sekunder perumahan.