Asuransi masih cemas menggandeng BPJS Kesehatan



JAKARTA. Waktu sekitar dua tahun telah berlalu sejak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan perusahaan asuransi komersial meneken perjanjian kerja sama skema koordinasi manfaat. Tapi hingga kini, implementasinya masih belum terlihat.

Anggota tim perunding koordinasi manfaat dari Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Christian Wanandi menyebut, dari 56 perusahaan asuransi yang sudah ikut dalam perjanjian kerja sama, mayoritas belum bisa menjalankan skema tersebut.

Bahkan beleid baru berupa Peraturan BPJS Kesehatan nomor 4 tahun 2016 malah menyisakan kekhawatiran dalam diri pelaku industri asuransi. Salah satunya adalah kewajiban perusahaan asuransi untuk menjadi pembayar pertama saat ada klaim.


Menurut dia, hal ini akan memberatkan keuangan dari asuransi komersial. Christian menyebut bila perusahaan asuransi menjadi pembayar pertama, maka pihak rumah sakit akan mengajukan tagihan yang berdasar pada tarif fee for service, yang mana nilainya lebih besar dari tarif INA CBG's yang pakai BPJS Kesehatan.

Dengan kenaikan beban ini, impian untuk menekan besaran premi asuransi kesehatan dengan adanya koordinasi manfaat bisa gagal. "Malah bisa saja preminya justru akan lebih mahal," kata dia, Selasa (25/10).

Karena itu, dia menyarankan, status asuransi komersial sebagai pembayar pertama hanya berlaku di rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan badan sosial tersebut. Sementara BPJS Kesehatan menjadi pembayar pertama di fasilitas kesehatan yang menjadi mitra.

Di samping itu, masa kadaluarsa klaim adalah enam bulan. Namun, di aturan tersebut BPJS Kesehatan tidak mencantumkan batas maksimum pembayaran klaim kepada asuransi komersial. Termasuk jika ada keterlambatan pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan kepada asuransi.

aturan koordinasi manfaat beratkan asuransi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia