Asuransi Wajib Bencana Dinilai Perlu Segera Diterapkan, Ini Alasannya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menilai penerapan asuransi wajib bencana di Indonesia sudah mendesak, mengingat tingginya tingkat kerawanan bencana serta adanya payung hukum melalui Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

“Indonesia merupakan wilayah rawan bencana dan menempati peringkat kedua negara paling rawan bencana di dunia menurut World Risk Report 2024. Dengan eksposur risiko sebesar ini, penerapan asuransi wajib bencana menjadi kebutuhan mendesak," kata Irvan kepada Kontan, Selasa (16/12/2025).

Irvan menilai kesiapan industri asuransi dalam menjalankan skema tersebut relatif memadai. Ia mencontohkan peran PT Asuransi MAIPARK Indonesia yang dimiliki oleh seluruh perusahaan asuransi umum nasional.


Baca Juga: Prudential Indonesia Bukukan Premi Rp 15,2 Triliun hingga Kuartal III-2025

“MAIPARK menunjukkan kesiapan tinggi dalam pelaksanaan asuransi bencana. Perusahaan ini optimistis bisnis akan tumbuh pada 2026, fokus mendukung ketahanan nasional, serta memiliki pengalaman dalam pengelolaan klaim bencana, seperti banjir di Sumatra pada 2025,” ujarnya.

Menurut Irvan, model asuransi bencana MAIPARK berbasis reasuransi gempa bumi dan catastrophe risk modeling (MCM) memungkinkan pengukuran potensi kerugian secara akurat serta distribusi risiko ke pasar reasuransi lokal dan internasional.

Irvan memperkirakan potensi kinerja bisnis asuransi bencana akan terus meningkat seiring tingginya frekuensi dan dampak bencana alam di Indonesia. Namun, ia menekankan pentingnya peningkatan literasi, inovasi produk, serta manajemen risiko yang ketat.

Baca Juga: Asuransi Digital Bersama (YOII) Cermati Wacana OJK Terkait Asuransi Wajib Bencana

“Lonjakan klaim akibat bencana besar, seperti yang terjadi di Sumatra pada 2025, menuntut industri terus beradaptasi melalui kolaborasi dengan pemerintah dan reasuransi global untuk memperluas penetrasi asuransi bencana,” katanya.

Meski demikian, Irvan mengingatkan masih terdapat sejumlah tantangan utama. Di antaranya adalah harga premi cenderung tinggi karena peningkatan risiko akibat perubahan iklim, literasi masyarakat masih rendah, verifikasi klaim tidak mudah, dan potensi moral hazard tetap ada.

"Masyarakat sering ragu karena kurang paham dan khawatir sulit klaim, sementara industri berjuang menyeimbangkan harga dan risiko yang meningkat," lanjutnya.

Selanjutnya: IHSG Ditutup Turun 0,11% ke 8.677,3 Rabu (17/12), Top Losers: EMTK, SCMA, BRPT

Menarik Dibaca: Konsumen Indonesia Kini Lebih Fokus ke Barang Tahan Lama, Ini Temuan Lazada

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News