JAKARTA. Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) menolak keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan Bea Keluar (BK) Tembaga sebesar 25% pada tahun ini, 35-40% pada tahun 2015 dan 50-60% pada 2016. Keputusan Menkeu tersebut dinilai kurang tepat karena dilakukan secara sepihak. “Keputusan itu merupakan keputusan yang tidak inovatif. Ini keliru, jangan sampai APBN defisit dan pengusaha tambang yang merupakan kontributor APBN/APBD jadi korban Kebijakan Menkeu,” kata Ketua ATEI Natsir Mansyur yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah. Natsir menyayangkan langkah Menkeu yang menetapkan BK secara sepihak tanpa mengajak bicara pengusaha tambang tembaga, asosiasi, dan Kadin. “Konsentrat yang diolah kadar minimumnya 15%. Berarti sudah ada nilai tambah dari 0,5 - 15% sebesar 30%. Ini kan sudah melalui proses industri, sudah menggunakan biaya produksi dan investasi tentu ada hitungan industrinya,” terang Natsir. Dikhawatirkan, lanjut dia, kebijakan tersebut bisa merusak bisnis tambang ke depan. Menurutnya, jika mineral masih mentah/ore boleh dikenakan setinggi-tingginya, namun bila sudah menjadi konsentrat tembaga 15% artinya sudah mineral olahan. Sebelumnya, ATEI menilai keputusan pemerintah sudah tepat dengan menerbitkan PP No.1/2014 serta Permen ESDM No.1/2014 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian. Kebijakan tersebut mengakomodasi kepentingan pemerintah pusat dan daerah dan pengusaha pemegang IUP, IUP khusus Pengolahan pemurnian dan KK, untuk Mineral tembaga. Sementara itu terkait penetapan bea keluar, kata Natsir, sebaiknya dibicarakan terlebih dahulu dengan pelaku usaha karena adanya pertimbangan teknis industri, sehingga pemerintah tidak menetapkannya secara sepihak. “Jangan asal menetapkan BK, karena semangat PP No.1/2014, Permen ESDM No.1/2014, sudah baik dan tepat, namun dengan adanya penetapan BK yang tinggi akan merusak bisnis mineral tembaga, PHK terjadi, ekonomi daerah tidak jalan,bisnis penambang tutup,” paparnya. Natsir mengingatkan, tujuan UU Minerba, PP No.1/2014, dan Permen No.1/2014 itu agar program hilirisasi mineral dapat tercapai, namun jika ada kebijakan yang tidak mendukung terhadap hal itu seperti keputusan Menkeu menetapkan BK yang tinggi, maka justru bisa mencederai semangat hilirisasi itu sendiri. Seharusnya, kata dia, Menkeu bisa memahami semangat Indonesia Incorporated, kongkritnya seperti yang dilakukan oleh Kementerian ESDM dalam menetapkan kadar minimum dengan melibatkan Kadin, ATEI, IMA, IUP,IUP khusus pengolahan Pemurnian, KK PT Freeport dan PT Newmont. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
ATEI: Bea Keluar tinggi merusak bisnis mineral
JAKARTA. Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) menolak keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan Bea Keluar (BK) Tembaga sebesar 25% pada tahun ini, 35-40% pada tahun 2015 dan 50-60% pada 2016. Keputusan Menkeu tersebut dinilai kurang tepat karena dilakukan secara sepihak. “Keputusan itu merupakan keputusan yang tidak inovatif. Ini keliru, jangan sampai APBN defisit dan pengusaha tambang yang merupakan kontributor APBN/APBD jadi korban Kebijakan Menkeu,” kata Ketua ATEI Natsir Mansyur yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah. Natsir menyayangkan langkah Menkeu yang menetapkan BK secara sepihak tanpa mengajak bicara pengusaha tambang tembaga, asosiasi, dan Kadin. “Konsentrat yang diolah kadar minimumnya 15%. Berarti sudah ada nilai tambah dari 0,5 - 15% sebesar 30%. Ini kan sudah melalui proses industri, sudah menggunakan biaya produksi dan investasi tentu ada hitungan industrinya,” terang Natsir. Dikhawatirkan, lanjut dia, kebijakan tersebut bisa merusak bisnis tambang ke depan. Menurutnya, jika mineral masih mentah/ore boleh dikenakan setinggi-tingginya, namun bila sudah menjadi konsentrat tembaga 15% artinya sudah mineral olahan. Sebelumnya, ATEI menilai keputusan pemerintah sudah tepat dengan menerbitkan PP No.1/2014 serta Permen ESDM No.1/2014 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian. Kebijakan tersebut mengakomodasi kepentingan pemerintah pusat dan daerah dan pengusaha pemegang IUP, IUP khusus Pengolahan pemurnian dan KK, untuk Mineral tembaga. Sementara itu terkait penetapan bea keluar, kata Natsir, sebaiknya dibicarakan terlebih dahulu dengan pelaku usaha karena adanya pertimbangan teknis industri, sehingga pemerintah tidak menetapkannya secara sepihak. “Jangan asal menetapkan BK, karena semangat PP No.1/2014, Permen ESDM No.1/2014, sudah baik dan tepat, namun dengan adanya penetapan BK yang tinggi akan merusak bisnis mineral tembaga, PHK terjadi, ekonomi daerah tidak jalan,bisnis penambang tutup,” paparnya. Natsir mengingatkan, tujuan UU Minerba, PP No.1/2014, dan Permen No.1/2014 itu agar program hilirisasi mineral dapat tercapai, namun jika ada kebijakan yang tidak mendukung terhadap hal itu seperti keputusan Menkeu menetapkan BK yang tinggi, maka justru bisa mencederai semangat hilirisasi itu sendiri. Seharusnya, kata dia, Menkeu bisa memahami semangat Indonesia Incorporated, kongkritnya seperti yang dilakukan oleh Kementerian ESDM dalam menetapkan kadar minimum dengan melibatkan Kadin, ATEI, IMA, IUP,IUP khusus pengolahan Pemurnian, KK PT Freeport dan PT Newmont. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News