KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perlombaan bank digital di Tanah Air sudah semakin memanas. Era bank digital atau dikenal dengan istilah neobank memang sudah tidak bisa lagi dielakkan di tengah kemajuan industri finansial berbasis teknologi informasi. Peluangnya bank digital berkembang cukup besar di tengah tingginya aktivitas masyarakat secara daring. Pandemi Covid-19 pun jadi momentum yang pas dalam percepatan tranformasi layanan perbankan melalui neobank. Layanannya mampu menjawab segala kebutuhan keuangan di tengah pembatasan sosial. Nasabah kini bisa melakukan transaksi dan mengakses layanan keuangan lainnya hanya lewat gadget di genggaman.
Sejumlah bank sudah mempersiapkan diri memasuki era neobank. Bank Central Asia (BCA), misalnya, akan segera memiliki bank digital penuh yang diberi nama Bank Digital BCA. Bank ini merupakan konversi dari Bank Royal yang diakuisisi pada tahun 2019. Baca Juga: Antisipasi Bank Digital PT Bank Jago Tbk (ARTO) juga bakal melakukan hal serupa, jadi bank digital sepenuhnya. Itu diperkuat dengan masuknya Gojek sebagai investor dengan menggenggam 22% saham bank ini. Lewat kolaborasi strategis tersebut, Gojek sebagai penyedia layanan on-demand dan aplikasi pembayaran akan menyediakan layanan perbankan di platformnya. Namun, tantangan bank digital ini juga tak kalah besar. Sementara aturan detail yang menjadi pijakan bagi bank digital di Indonesia saat ini masih belum ada. Otoritas Jasa Keuangan (POJK) baru menyisipkan aturan bisnis bank digital dalam sub bahasan di rancangan Peraturan OJK tentang Bank Umum di mana bank diizinkan beroperasi tanpa harus memiliki kantor cabang fisik. Dalam pengaturan bank digital, OJK perlu berkaca dari Alibaba. Pemerintah China kecolongan terkait pengaturan monopoli dalam industri pembayaran digitalnya dan belakangan baru mulai mempermasahkan anti-monopoli setelah raksasa e-commerce itu sudah terlampu besar serta mendominasi pasar China.