Aturan baru ancam industri waralaba lokal



Ketentuan dalam Permendag Nomor 53/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba banyak yang tidak jelas, kontroversial, dan berpotensi menimbulkan persoalan. Beleid untuk mendorong industri waralaba malah mengancam pemain lokal.Aturan yang dinanti-nanti itu akhirnya nongol juga. Beleid itu bernama lengkap Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Inilah beleid yang sejak masih dalam penggodokan sudah menuai pro dan kontra. Setelah keluar, nyatanya, kontroversi juga tidak mereda.Dibanding peraturan sebelumnya, Permendag Nomor 31/2008, beleid yang baru ini memang cukup banyak memuat revisi dan membawa aturan baru (lihat tabel). Ada beberapa poin yang secara kasat mata bisa dinilai positif. Di antaranya janji bahwa pengurusan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) akan kelar dalam 2 hari kerja dan beberapa aturan lain.Cuma, ada beberapa ketentuan yang justru berpotensi menimbulkan masalah baru seperti ketentuan pemutusan perjanjian waralaba, ketentuan hubungan pemberi dan penerima waralaba, serta adanya lembaga adhoc baru, yakni tim penilai dan tim pengawas. Keberadaan aturan yang tidak jelas itu malah mengaburkan semangat awal peraturan ini, yakni untuk mendorong perkembangan industri waralaba lokal.Menurut Gunaryo, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, beleid ini disusun untuk lebih meningkatkan peran yang signifikan pelaku usaha, terutama pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). Yang tidak kalah penting, ada juga niat untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri.Pemerintah menyusun aturan baru ini karena ada beberapa praktik yang kurang sehat di industri waralaba. Sekadar contoh, ada kecenderungan beberapa pelaku usaha waralaba yang lebih enjoy dengan pemusatan atau penguasaan usaha.Mereka ini ogah mewaralabakan usahanya kepada pihak lain, termasuk ke UKM. Lazimnya, mereka malah ingin memiliki sendiri seluruh jaringan gerai. “Kalau membuka kesempatan, aturannya macam-macam. Itu, kan, seharusnya tidak boleh,” ungkap Gunaryo.Selain itu, Gunaryo mengakui, ada juga semangat untuk membentengi pasar dalam negeri dari pewaralaba asing. Apalagi, mereka masuk lewat pasar ritel kecil yang seharusnya hanya diperbolehkan untuk pemain dalam negeri murni dan tidak boleh ada patungan dengan asing.Banyak pula usaha ritel yang beroperasi tidak sesuai konsep awal saat mengajukan izin. Semula bilang restoran, ternyata, yang dibuka gerai ritel atau sebaliknya. “Masalah abu-abu ini yang harus dipertegas,” sambungnya. Wilayah abu-abu lain yang juga ingin dipertegas adalah banyaknya pihak-pihak yang sebenarnya sudah menerapkan pola waralaba tapi tidak pernah melakukan pendaftaran usaha waralaba.Perhimpunan Waralaba Indonesia (Wali) yang terlibat dalam perumusan ketentuan ini, juga mengakui, niat awal beleid baru ini sebenarnya untuk mendorong pelaku usaha lokal dan kecil. “Ini inisiatif bersama pemerintah dan pelaku usaha,” ungkap Amir Karamoy, Ketua Dewan Pengarah Wali.Gara-garanya adalah pemberitaan rencana waralaba asing masuk ke Indonesia. Desember 2011, misalnya, ada 17 waralaba asing yang masuk. Malaysia juga sebelumnya mengumumkan akan ada 100 gerai waralaba dari Negeri Jiran itu yang akan masuk ke Indonesia. “Mereka membikin acara pameran Maret lalu di Balai Kartini. Ini menggelisahkan pengusaha lokal,” ungkap Amir.Wajar kalau banjir waralaba asing meresahkan pengusaha lokal. Soalnya, tahun 2015, Indonesia masuk pasar bersama ASEAN. Indonesia akan menjadi incaran utama negara-negara tetangga karena pasarnya besar, masyarakatnya konsumtif, kelas menengahnya berkantong tebal, daya belinya cukup kuat, serta pertumbuhan ekonominya cukup stabil.Dengan skenario itu, Singapura bakal jadi pemain terbesar waralaba asing di Indonesia. Sebab, hampir semua waralaba asing besar dunia menggunakan Singapura sebagai kantor pusat untuk aktivitasnya di Asia Tenggara. “Menyikapi ini, Kadin pun bereaksi, dan kebetulan pemerintah memiliki kesadaran yang sama,” ujar Amir yang juga menjabat Ketua Komite Tetap Waralaba dan Lisensi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.Jauh dari ekspektasiMasalahnya, aturan yang muncul ternyata meleset dari niat awalnya. Alih-alih mendukung pewaralaba lokal dan kecil, aturan ini malah berpotensi memojokkan mereka. Sebab, tak ada ketentuan pengecualian untuk pewaralaba lokal dalam ketentuan yang membatasi gerak pemberi waralaba.Utomo Njoto, Pengamat dan Konsultan Waralaba, menilai, ada paradigma yang meleset dalam beleid baru ini. Paradigma yang digadang-gadang adalah pewaralaba lokal versus pewaralaba asing, tapi paradigma yang muncul adalah penerima waralaba versus pemberi waralaba. “Aturan ini jelas-jelas memihak penerima waralaba,” ungkapnya.Utomo mencontohkan aturan yang melarang pemberi waralaba menunjuk penerima waralaba yang baru untuk wilayah yang sama jika perjanjian diputus secara sepihak oleh pemberi waralaba, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. “Bayangkan, kalau ada penerima waralaba yang nakal lalu dicabut hak waralaba tapi dia melawan secara hukum. Artinya, pemberi waralaba tak bisa menunjuk penerima waralaba yang baru untuk jangka waktu yang tidak jelas berapa lama,” katanya.Ada juga aturan yang melarang pemberi waralaba menunjuk penerima waralaba yang memiliki hubungan pengendalian dengan pemberi waralaba. “Ini tidak jelas juga,” katanya.Aturan itu juga menyebut peran tim penilai dan tim pengawas yang bertugas memberikan rekomendasi untuk penerbitan surat tanda pendaftaran waralaba (STPW), menghitung soal pemakaian 80% produk lokal, dan mengawasi pemberi waralaba serta penerima waralaba agar melaksanakan usaha sesuai izin.Pertanyaannya, siapa yang berhak dan layak jadi tim penilai dan menjamin tim mampu objektif? Pentingnya peran tim ini membuat mereka punya “kekuasaan” besar. Semula, asosiasi waralaba ingin dilibatkan dalam tim verifikasi kelayakan lantaran menganggap mengenal bisnis waralaba. Masalahnya, saat ini, setidaknya ada dua versi asosiasi waralaba, yakni Wali dan Asosiasi Franchise Indonesia (AFI). Mana yang lebih layak?Jika tidak jelas, keberadaan tim ini justru menjadi sumber persaingan tidak sehat dan celah pemerasan atau pungutan liar. Karena itu, Amir menyimpulkan, meski niatnya baik, dalam pembuatannya, aturan ini kurang cermat.Nurlaila Nur Muhammad, Direktur Bina Usaha Perdagangan Kemendag, menjanjikan, akan ada aturan susulan teknis yang lebih rinci mengatur masalah waralaba, terutama untuk usaha rumah makan dan ritel.

Ketentuan Baru dalam Pengelolaan Waralaba

Sumber: Riset Kontan

ATURAN YANG POSITIF ATURAN KONTROVERSIAL
No Permendag No. 53/2012 Permendag No. 31/2008 No Permendag No. 53/2012 Permendag No. 31/2008
1 Pemberi waralaba, baik dari dalam maupun luar negeri, serta penerima waralaba dari luar negeri harus mendaftar ke Direktorat Bina Usaha Perdagangan Kementerian Perdagangan. (Pasal 10) Hanya pemberi waralaba dari luar negeri dan pemberi warala­ba lanjutan dari luar negeri yang wajib mendaftar ke Kementerian Perdagangan. (Pasal 14) 1 Pemberi waralaba tidak dapat menunjuk penerima waralaba yang memiliki hubungan pengendalian dengan pemberi waralaba, baik langsung maupun tidak langsung. (Pasal 7) Tidak mengatur
2 Dijanjikan, kalau dokumen sudah lengkap, STPW paling lama 2 (dua) hari kerja selesai. Dijanjikan, kalau dokumen sudah lengkap, 2 (tiga) hari kerja selesai. (Pasal 18) 2 Kalau perjanjian diputus secara sepihak oleh pemberi waralaba sebelum masa berlaku berakhir, pemberi waralaba tidak dapat menunjuk penerima waralaba yang baru untuk wilayah yang sama, sebelum tercapai kesepakatan dalam perselisihan itu atau sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pemberi waralaba boleh menunjuk penerima waralaba baru di wilayah yang sama setelah lewat 6 bulan setelah pemutusan perjanjian waralaba. (Pasal 6)
(Pasal 14) (Pasal 8)
3 Penerima waralaba dari dalam negeri serta penerima waralaba lanjutan dari dalam dan luar negeri mendaftar ke kantor dinas perdagangan provinsi, kabupaten/kota. (Pasal 10) Selain pemberi waralaba dari luar negeri dan pemberi waralaba lanjutan dari luar nege­ri, mendaftar ke kantor dinas perdagangan. (Pasal 14) 3 Untuk mendapat STPW, harus mendapat rekomendasi persetuju­an Tim Penilai. (Pasal 15) Tidak mengatur
4 Pemberi dan penerima warala­ba wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menjalankan kegiatan usahanya antara lain peraturan perlindungan kon­sumen, kesehatan, pendidikan, lingkungan, tata ruang, tenaga kerja, dan hak atas kekayaan intelektual. (Pasal 6) Tidak Mengatur 4 Pemberi dan penerima waralaba wajib menggunakan bahan baku, peralatan, dan menjual barang dagangan minimal 80% dari barang dan jasa produksi dalam negeri. Penilaian ketentuan ini akan dilakukan Tim Penilai. Tidak mengatur
5 Pemberi dan penerima warala­ba yang telah memiliki STPW wajib menggunakan logo waralaba yang akan diatur lebih lanjut. (Pasal 18) Tidak mengatur (Pasal 19)
5 Pemberi waralaba dan penerima waralaba hanya dapat melaksana­kan usaha sesuai izin usaha. Boleh saja menjual barang pendukung usaha utama, tapi maksimal hanya 10% dari total jenis barang yang dijual. Pengawasan akan dilakukan Tim Pengawas Ditjen Perdagangan Dalam Negeri. (Pasal 21) Tidak mengatu

****Sumber : KONTAN MINGGUAN 48 XVI 2012, Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Imanuel Alexander