Jumlah penduduk besar dan pertumbuhan ekonomi yang positif membuat Indonesia menjadi pasar empuk bagi para pelaku bisnis ritel. Bukan hanya pebisnis ritel dari dalam negeri, pemain luar negeri pun tak henti-hentinya mengintip riuhnya pasar di negeri ini.Ramainya pasar ritel yang disokong oleh peningkatan daya beli juga memikat para pemain waralaba asing. Tengok saja, pada Desember 2011, ada 15 pelaku waralaba asal Amerika Serikat yang datang ke Indonesia untuk berburu mitra.Pemain waralaba negeri tetangga, seperti Malaysia dan Singapura pun ikut menjajakan bisnisnya di sini. Sejak 2008 sampai kuartal I-2012, setidaknya ada 53 waralaba asing yang mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW).Para pemain waralaba lokal pun resah. Maraknya waralaba asing bisa mengancam bisnis para pewaralaba lokal. Mereka pun berkilah, banjirnya waralaba asing ini bisa menghambat pertumbuhan banyak usaha kecil, mikro dan menengah (UKM) dari dalam negeri.Selain itu, banyak pemegang master franchise perusahaan waralaba asing yang ternyata tak mewaralabakan usahanya di Indonesia. Artinya, mereka menutup peluang bagi investor lokal yang ingin mencicipi gurihnya bisnis waralaba asing tersebut.Berbekal semangat untuk menggairahkan serta menyehatkan industri waralaba di dalam negeri, pemerintah merevisi Permendag No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba. “Kami ingin bisnis waralaba ini bisa berkembang secara sehat,” kata Gunaryo, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan.Pekan lalu, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan telah meneken aturan waralaba yang baru, Permendag No. 53/M-DAG/PER/8/2012. Sejumlah terobosan dilakukan. Untuk mendorong industri dalam negeri maupun UKM, Pemerintah pun membatasi penjualan atau penggunaan bahan baku dari penggunaan bahan baku dari produk-produk impor. Pemberi waralaba dan penerima waralaba wajib menggunakan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang dagangan minimal 80% dari produk lokal.Melalui beleid baru ini, pemerintah juga memberi penegasan untuk usaha sesuai izin waralaba. Pemberi dan penerima waralaba hanya boleh menjual barang-barang pendukung maksimal 10% dari total jenis barang yang dijual.Pemerintah juga ingin mengatur gerai convenience store seperti 7-Eleven dan Lawson, yang belakangan mendapat teguran karena mengantongi dua izin yang berbeda, yakni izin restoran dan izin minimarket.Untuk menciptakan peluang bagi investor lokal, pemerintah bakal menerbitkan aturan spesifik soal waralaba toko modern, rumah makan, dan rumah minum. Salah satu isinya, pemerintah membatasi kepemilikan gerai tiap pemberi waralaba antara 100 hingga 150 gerai.Sekilas, pengusaha lokal punya peluang besar untuk memanfaatkan dampak dari beleid ini. Terbuka peluang lebih besar sebagai terwaralaba maupun pemasok produk.Tapi, benarkah aturan ini benar-benar sesuai dengan semangat untuk mendorong pengusaha lokal, khususnya usaha kecil menengah (UKM) atau justru merugikan pengusaha dalam negeri? Simak Laporan Utama KONTAN edisi ini.. ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 48 XVI 2012, Laporan Utama
Aturan baru waralaba yang mengagetkan
Jumlah penduduk besar dan pertumbuhan ekonomi yang positif membuat Indonesia menjadi pasar empuk bagi para pelaku bisnis ritel. Bukan hanya pebisnis ritel dari dalam negeri, pemain luar negeri pun tak henti-hentinya mengintip riuhnya pasar di negeri ini.Ramainya pasar ritel yang disokong oleh peningkatan daya beli juga memikat para pemain waralaba asing. Tengok saja, pada Desember 2011, ada 15 pelaku waralaba asal Amerika Serikat yang datang ke Indonesia untuk berburu mitra.Pemain waralaba negeri tetangga, seperti Malaysia dan Singapura pun ikut menjajakan bisnisnya di sini. Sejak 2008 sampai kuartal I-2012, setidaknya ada 53 waralaba asing yang mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW).Para pemain waralaba lokal pun resah. Maraknya waralaba asing bisa mengancam bisnis para pewaralaba lokal. Mereka pun berkilah, banjirnya waralaba asing ini bisa menghambat pertumbuhan banyak usaha kecil, mikro dan menengah (UKM) dari dalam negeri.Selain itu, banyak pemegang master franchise perusahaan waralaba asing yang ternyata tak mewaralabakan usahanya di Indonesia. Artinya, mereka menutup peluang bagi investor lokal yang ingin mencicipi gurihnya bisnis waralaba asing tersebut.Berbekal semangat untuk menggairahkan serta menyehatkan industri waralaba di dalam negeri, pemerintah merevisi Permendag No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba. “Kami ingin bisnis waralaba ini bisa berkembang secara sehat,” kata Gunaryo, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan.Pekan lalu, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan telah meneken aturan waralaba yang baru, Permendag No. 53/M-DAG/PER/8/2012. Sejumlah terobosan dilakukan. Untuk mendorong industri dalam negeri maupun UKM, Pemerintah pun membatasi penjualan atau penggunaan bahan baku dari penggunaan bahan baku dari produk-produk impor. Pemberi waralaba dan penerima waralaba wajib menggunakan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang dagangan minimal 80% dari produk lokal.Melalui beleid baru ini, pemerintah juga memberi penegasan untuk usaha sesuai izin waralaba. Pemberi dan penerima waralaba hanya boleh menjual barang-barang pendukung maksimal 10% dari total jenis barang yang dijual.Pemerintah juga ingin mengatur gerai convenience store seperti 7-Eleven dan Lawson, yang belakangan mendapat teguran karena mengantongi dua izin yang berbeda, yakni izin restoran dan izin minimarket.Untuk menciptakan peluang bagi investor lokal, pemerintah bakal menerbitkan aturan spesifik soal waralaba toko modern, rumah makan, dan rumah minum. Salah satu isinya, pemerintah membatasi kepemilikan gerai tiap pemberi waralaba antara 100 hingga 150 gerai.Sekilas, pengusaha lokal punya peluang besar untuk memanfaatkan dampak dari beleid ini. Terbuka peluang lebih besar sebagai terwaralaba maupun pemasok produk.Tapi, benarkah aturan ini benar-benar sesuai dengan semangat untuk mendorong pengusaha lokal, khususnya usaha kecil menengah (UKM) atau justru merugikan pengusaha dalam negeri? Simak Laporan Utama KONTAN edisi ini.. ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 48 XVI 2012, Laporan Utama