JAKARTA. Investor sektor alas kaki dari Taiwan mempertanyakan ketidakpastian aturan dari bea dan cukai yang menghambat usaha di Indonesia. Mereka meminta penjelasan itu disampaikan secara khusus dalam konferensi alas kaki internasional di Filipina Maret nanti. Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko mengungkapkan, keluhan serupa juga disampaikan produsen alas kaki lainnya di dalam negeri. Menurutnya saat ini, investor dalam kondisi serba khawatir. "Aturannya berubah-ubah, tidak ada kepastian hukum," terang Eddy, Kamis (26/1). Aturan yang berubah-ubah tersebut terutama terkait dengan cukai. Semestinya impor bahan baku untuk tujuan ekspor dipermudah. Sebenarnya pemerintah telah memberikan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE). Tapi pada prakteknya di lapangan, pemerolehan fasilitas pembebasan bea masuk itu dipersulit. Aturan kawasan berikat yang baru juga memberatkan. Ketentuan yang memberatkan industri sepatu di antaranya kewajiban relokasi di kawasan industri dan pembatasan penjualan di dalam negeri maksimal 25%. Biaya produksi terus mengalami kenaikan akibat kenaikan upah minimum karyawan. Begitu produksi selesai, produsen sepatu yang kebanyakan berada di Tangerang dan Sukabumi kesulitan mengangkut produknya ke pelabuhan Tanjung Priok. Infrastruktur yang jelek menyebabkan kemacetan. Biaya logistik semakin mahal. Dirjen Basis Industri Manufaktur (BIM) Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto mengakui masih ada beberapa aturan yang mengganggu industri sepatu. Salah satunya mengenai pembatasan penjualan produk dari kawasan berikat maksimal 25%. "Kami semestinya malah mendorong industri hulu agar produksinya dipergunakan untuk mengamankan suplai bahan baku di dalam negeri," ujar Panggah. Kementerian Perindustrian sendiri menurutnya mengusulkan agar aturan itu bisa lebih fleksibel. Pasalnya sebagian industri di kawasan berikat merupakan industri hulu yang memasok bahan baku bagi industri di dalam negeri.
Aturan bea cukai alas kaki simpang siur
JAKARTA. Investor sektor alas kaki dari Taiwan mempertanyakan ketidakpastian aturan dari bea dan cukai yang menghambat usaha di Indonesia. Mereka meminta penjelasan itu disampaikan secara khusus dalam konferensi alas kaki internasional di Filipina Maret nanti. Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko mengungkapkan, keluhan serupa juga disampaikan produsen alas kaki lainnya di dalam negeri. Menurutnya saat ini, investor dalam kondisi serba khawatir. "Aturannya berubah-ubah, tidak ada kepastian hukum," terang Eddy, Kamis (26/1). Aturan yang berubah-ubah tersebut terutama terkait dengan cukai. Semestinya impor bahan baku untuk tujuan ekspor dipermudah. Sebenarnya pemerintah telah memberikan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE). Tapi pada prakteknya di lapangan, pemerolehan fasilitas pembebasan bea masuk itu dipersulit. Aturan kawasan berikat yang baru juga memberatkan. Ketentuan yang memberatkan industri sepatu di antaranya kewajiban relokasi di kawasan industri dan pembatasan penjualan di dalam negeri maksimal 25%. Biaya produksi terus mengalami kenaikan akibat kenaikan upah minimum karyawan. Begitu produksi selesai, produsen sepatu yang kebanyakan berada di Tangerang dan Sukabumi kesulitan mengangkut produknya ke pelabuhan Tanjung Priok. Infrastruktur yang jelek menyebabkan kemacetan. Biaya logistik semakin mahal. Dirjen Basis Industri Manufaktur (BIM) Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto mengakui masih ada beberapa aturan yang mengganggu industri sepatu. Salah satunya mengenai pembatasan penjualan produk dari kawasan berikat maksimal 25%. "Kami semestinya malah mendorong industri hulu agar produksinya dipergunakan untuk mengamankan suplai bahan baku di dalam negeri," ujar Panggah. Kementerian Perindustrian sendiri menurutnya mengusulkan agar aturan itu bisa lebih fleksibel. Pasalnya sebagian industri di kawasan berikat merupakan industri hulu yang memasok bahan baku bagi industri di dalam negeri.