KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menyatakan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) belum secara rinci menjelaskan pelaksanaan sistem kuota PLTS Atap. Hal ini membuat pelaku usaha kebingungan. Mengenai aturan kuota ini, Pasal 7 Permen 2/2024 mengatur, Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) wajib menyusun kuota pengembangan Sistem PLTS Atap untuk setiap Sistem Tenaga Listrik. Penyusunan ini mempertimbangkan arah kebijakan energi nasional, rencana dan realisasi rencana usaha penyediaan tenaga listrik dan keandalan Sistem Tenaga Listrik sesuai dengan ketentuan dalam aturan jaringan Sistem Tenaga Listrik (
grid code) Pemegang IUPTLU.
Baca Juga: Berpeluang Ada Monopoli, Sistem Kuota PLTS Atap untuk 5 Tahun Diminta Transparan "Kuota pengembangan Sistem PLTS Atap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang dirinci untuk setiap tahun dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember," bunyi Pasal 7 Ayat 3 beleid tersebut. Namun, Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa menyatakan, kebijakan sistem kuota dalam Permen 2/2024 belum begitu jelas. “Saat ini masih banyak pertanyaan dari anggota AESI, seperti bagaimana mekanisme kuota di ketahui, apakah akan diumumkan terbuka dan diakses. Lalu apakah mekanisme kuota ini first in first out artinya siapa yang mengajukan duluan dia mendapatkan kuota?” ujar Ketua AESI Fabby Tumiwa kepada Kontan.co.id, Minggu (25/2). Poin lain yang dipertanyakan ialah, bagaimana jika kuota sudah penuh tetapi peminatnya masih banyak, bagaimana mekansime evaluasinya akankah kuota akan ditambah dan jika harus menunggu berapa lama waktunya? AESI juga khawatir pemerintah memberi keistimewaan pada PT PLN yang mulai terjun ke bisnis PLTS Atap sehingga dapat terjadi monopoli dan persaingan usaha tidak adil antara PT PLN dan badan usaha swasta. Maka dari itu, pihaknya meminta agar penetapan kuota dapat masukan dari pelaku usaha PLTS Atap. Cara yang bisa dilakukan dengan public hearing. Pemerintah dapat mengundang pelaku usaha sebelum IPTLU menetapkan kuota. Pertemuan itu secara terbuka membahas rencana kuota PLTS Atap per-subsistem di tahun ini hingga tahun depan. “Jadi sebelum tiga bulan ini harapannya regulator dan anggota AESI maupun badan usaha lain yang berbisnis PLTS Atap bisa bertemu membahas itu,” jelasnya. Selain itu, kuota dapat diumumkan secara terbuka melalui website. Berkaca pada praktik di Malaysia, pemerintah membuka besaran kuota secara publik untuk kemudian pengusaha mengajukan permohonan. Pemerintah juga mesti mengantisipasi adanya hambatan pemasangan. Misalnya suatu badan usaha sudah dapat kuota, tetapi pemasangan tidak kunjung dieksekusi. Maka pemerintah perlu mengatur berapa lama jatah waktu suatu badan usaha menjalankan proyek tersebut hingga akhirnya kuota bisa dirilis kembali untuk perusahaan lain yang lebih kompeten.
Baca Juga: Untungkan PLN, IESR: Beleid PLTS Atap Turunkan Minat Pelanggan Rumah Tangga Berdasarkan survey internal asosiasi, AESI memiliki potensi pemasangan PLTS Atap-berdasarkan sebesar 800 MW-900 MW di 2024 dan 1,2 GW hingga 1,3 GW di 2025. Estimasi ini berdasarkan proyek dalam pipeline yang tersebar di seluruh Indonesia, didominasi di wilayah Jawa, Bali, Sumatera. Adapun data ini bisa lebih besar dari estimasi yang sudah terhimpun saat ini.
Proyek PLTS Atap yang sudah masuk ke dalam pipeline statusnya bervariasi, ada yang sudah tahap studi, penjajakan dengan konsumen, siap kontrak, hingga dapat persetujuan dari PLN. AESI berharap, pemerintah dapat memberikan kuota sebesar 1 GW di 2024 dan 2,5 GW di 2025 untuk PLTS Atap yang tersebar banyak di Jawa, Bali dan Sumatra. Perihal pembagiannya nanti perlu dirinci secara lebih jauh. “Masukan kami, untuk hal-hal yang mengatur lebih detail tentang kuota seperti proses pengajuan dan penyampaian kuota perlu ada aturan turunannya. Misalnya peraturan di Direktorat Jenderal (Ditjen) Ketenagalistrian atau Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) yang menjadi acuan IUPTLU dalam pemberian kuota,” jelasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi