Aturan divestasi asing di hortikultura menggantung



JAKARTA. Kementerian Pertanian tak kunjung merampungkan Peraturan Menteri (Permentan) terkait aturan divestasi asing di sektor hortikultura. Padahal, beleid itu sudah diwacanakan sejak Mei 2016. Permentan tersebut turunan dari ketentuan pasal 131 ayat 2, Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura.

Direktur Jenderal (Dirjen) Hortikultura Kemtan, Spudnik Sujono mengatakan, pengesahan Permentan menunggu kondisi ekonomi global membaik. “Tidak ada kendala apa-apa. Hanya saja, saat ini kondisi ekonomi kita sedang tidak kondusif. Agar tidak bikin tambah gaduh kondisi saat ini. Kita tunggu dulu kondisi ekonomi kondusif,” tuturnya, Rabu (1/3).

Ia menambahkan, draf rancangan Permentan sudah diserahkan ke kantor pusat Kemtan dan telah dilakukan public hearing beberapa kali dengan para pelaku usaha terkait. “Kami juga beri waktu bagi pihak yang terkait untuk mempersiapkan diri. Biar win-win solution lah,” ucap Spudnik.


Dalam rancangan Permentan disebutkan, perusahaan asing yang memiliki saham 100% di Indonesia harus melakukan divestasi atau pelepasan saham sebanyak 70%. Ditegaskan maksimal investasi asing di perusahaan hortikultura maksimal 30% dan berlaku surut.

Spudnik bilang, rancangan Permentan ini sebagai instrumen aplikasi dari UU Hortikultura yang terbit tahun 2010 silam.

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori mengatakan, bukan hanya kali ini pemerintah menggantungkan nasib kebijakan. Beberapa UU yang digugat dan telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) kerap bernasib sama. “Sebenarnya persoalan kebijakan seperti ini wajib dituntaskan oleh Kementerian Pertanian,” tuturnya.

Di sisi lain, Khudori bilang, tidak ada sanksi yang diberikan jika Kemtan tidak menunaikan kewajiban memperjelas instrumen aplikasi UU. “Tidak sekali ini saja Kementan berbuat demikian. Misal, pasal 126-129 UU Pangan yang mengamanatkan pembentukan lembaga pangan sampai sekarang belum ada lembaganya. Padahal tenggatnya maksimal Oktober 2015,” ungkap Khudori.

Ia menduga, kelanjutan instrumen aplikasi UU sengaja dibiarkan. Tidak ada sanksi hukum yang mengikat jika lambat dalam menunaikan kewajiban  menyebabkan pemerintah cenderung lebih santai merespons. “Kemungkinan dua penyebab tersebut yang mengakibatkan persoalan ini,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini