Aturan FFR bakal ramaikan pasar obligasi korporasi



KONTAN.CO.ID - Pasar obligasi bisa semakin semarak bila Bank Indonesia (BI) selesai mengakaji dan menerbitkan aturan financing to finance ratio (FFR). Sekadar info, aturan ini tentu berbeda dengan ketentuan rasio kredit terhadap pendanaan atau loan to financing ratio (LFR) yang selama ini ada. 

Aturan ini memungkinkan bank untuk bisa membeli obligasi yang diterbitkan korporasi. Nantinya, obligasi korporasi yang dibeli bank bisa diakui sebagai loan sehingga istilah LFR bisa berubah menjadi FFR.

Kepala Divisi Operasional Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Ifan Mohamad Ihsan mengatakan, aturan FFR seharusnya bisa membuat pasar obligasi korporasi semakin semarak. "Karena likuiditas yang ada di perbankan dapat diserap melalui pembelian obligasi korporasi," kata Ifan, Senin (18/9). 


Otomatis, hal ini bisa menciptakan pasar obligasi korporasi yang lebih likuid. Maklum, selama ini likuiditas obligasi korporasi di pasar sekunder memang terbatas. Penyebabnya, obligasi korporasi banyak diserap institusi dana pensiun, asuransi yang umumnya memiliki pola investasi jangka panjang yang memegang obligasi hingga jatuh tempo ketimbang diperdagangkan di pasar sekunder.

Perbankan umumnya lebih melirik obligasi pemerintah untuk menyalurkan likuiditas. "Secara perhitungan baru surat berharga negara (SBN) saja yang dapat digunakan sebagai salah satu variable perhitungannya," kata Ifan. 

Bank lebih suka membeli SBN karena dapat digunakan sebagai instrumen untuk menjaga likuiditas melalui operasi pasar terbuka (OPT) yang dilakukan Bank Indonesia. "Tidak bisa dipungkiri faktor risiko likuiditas tentu menjadi pertimbangan bank kurang membeli obligasi korporasi," ujar Ifan.

Fund Manager Capital Asset Management Desmon Silitonga mengatakan, perbankan cenderung menaruh likuditasnya pada SBN lebih banyak dari pada obligasi korporasi karena tidak ada risiko gagal bayar SBN yang dijamin pemerintah. Sementara, pada obligasi korporasi terdapat risiko gagal bayar. Senada, Desmon berpendapat dari sisi risiko likuiditas obligasi korporasi tidak selikuid obligasi pemerintah. "SBN lebih volatile di pasar sekunder," kata Desmon.

Namun, dengan berlakunya peraturan FFR Desmon mengatakan akan mendorong pendalaman pasar obligasi korporasi. "Saat ini kapitalisasi SUN hampir Rp 1.200 triliun sedangkan obligasi korporasi hanya sekitar Rp 400 triliun, jadi ada gap besar," kata Desmon. 

Diharapkan peraturan FFR bisa menambah permintaan akan obligasi korporasi dan obligasi jadi salah satu alternatif pendanaan bagi korporasi. "Maraknya bank yang masuk obligasi korporasi bisa membuat likuiditas obligasi korporasi di pasar sekunder tinggi dan bisa lebih menarik orang untuk beli," kata Desmon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati