Aturan harga jual listrik EBT dikecam



JAKARTA. Pemerintah dinilai tidak berkomitmen dalam mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT) di Tanah Air. Salah satu yang disorot adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan bagi Penyediaan Tenaga Listrik.

Itu sebabnya, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) dan pengusaha EBT meminta Menteri ESDM Ignasius Jonan meninjau kembali Peraturan Menteri ESDM No.12/2017. Sebab, penerapan tarif maksimal 85% dari biaya pokok produksi (BPP) kontra produktif dengan pengembangan EBT.

Ketua Umum METI Surya Dharma menyatakan sudah mengirim surat peninjauan kembali atas Permen ESDM No.12/2017 karena tidak mendorong pengembangan EBT. Lagi pula, kata dia, aturan itu bertentangan dengan UU No.30/2007 tentang Energi, serta Peraturan Pemerintah No.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.


Surya menjelaskan, pasal 7 UU No.30/2007 menyatakan, harga energi ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan. Dia menyatakan, nilai keekonomian berkeadilan adalah nilai/biaya yang merefleksikan biaya produksi energi, termasuk biaya lingkungan dan konservasi, serta keuntungan berdasarkan kemampuan masyarakat dan ditetapkan pemerintah. "Pemerintah perlu menerbitkan pedoman perhitungan harga keekonomian berkeadilan," tulis dia dalam surat yang dikirimkan ke Menteri ESDM Ignasius Jonan, Rabu (8/2).

Jaya Wahono, Presiden Direktur PT Charta Putera Indonesia, menyatakan, saat ini, perusahaannya tengah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Bio Massa (PLTBM) di Siberut dan Bali. Permen ESDM No.12/2017 memang tak mengancam pada PLTBM Siberut, Mentawai. Namun, aturan itu akan berdampak buruk terhadap pengembangan PLTBM Bali.

Sebagai perbandingan, BPP PLN di Bali saat ini Rp 1.600 per kWh, sementara BPP di Siberut sekitar Rp 3.000 per kWh. "Secara umum tarif EBT yang dikaitkan dengan BPP PLN bakal merugikan. Pemerintah harus kasih insentif banyak agar proyek di Bali bisa jalan," ujarnya ke KONTAN, Minggu (12/2).

Aria Witoelar, CEO PT Arya Watala Capital, perusahaan pengembang PLTS Photovoltaics di Nusa Tenggara Timur, menyatakan, penerapan tarif tersebut tidak menguntungkan pengembang EBT. Sebab, bobot pembentuk BPP disokong oleh energi fosil. Dengan membatasi 85% tarif maksimal dari BPP, pemerintah mengharapkan tarif EBT lebih murah dibandingkan dengan tenaga fosil.

Paradigma ini sama saja mematikan investasi EBT. Lebih jauh lagi, pemerintah tidak memiliki komitmen pada pengembangan EBT, dan memilih mensubsidi pembangkit listrik diesel yang boros, mahal dan tidak ramah lingkungan. Itu sebabnya, dia berharap Permen ESDM No.12/2017 itu dicabut.

Arthur Simatupang, Ketua Harian Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) menyatakan, kehadiran aturan tersebut sama menghalangi upaya pemerintah untuk mencapai bauran energi 23% pada tahun 2025. Selain itu, investasi EBT hanya akan menarik bagi investor di wilayah-wilayah yang memiliki BPP masih tergolong tinggi.

Kehadiran aturan ini membuat investor EBT harus berpikir seribu kali jika akan masuk proyek EBT. "Seharusnya (pemerintah) konsisten dengan RUPTL bahwa listrik dari energi fosil akan dikurangi (subsidinya). Dan memang tarif ekonomis EBT tidak bisa dipaksakan bersaing dengan batubara," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini