Aturan hunian berimbang makin longgar



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melonggarkan ketentuan tentang pembangunan perumahan hunian berimbang. Melalui revisi Peraturan Menteri Perumahan Rakyat (Permenpera) No. 7 tahun 2013 tentang Hunian Berimbang, pemerintah akan menghapuskan sanksi pidana bagi pengembang yang tidak menjalankan aturan ini.

Revisi juga dilakukan untuk menyelaraskan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 14 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Direktur Jenderal (Dirjen) Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Abdul Hamid menjelaskan, akan ada 5 poin utama dalam revisi aturan tersebut. Pertama, adalah penghapusan sanksi pidana.


Jika pada aturan sebelumnya terdapat sanksi pidana yang bisa dikenakan kepada pengembang perumahan, maka akan ditiadakan. "Itu tidak sesuai kaidah peraturan perundang-undangan yang berlaku, Permen tidak boleh memuat sanksi pidana," terang Khalawi, belum lama ini.

Kedua, pemerintah dalam revisi ini juga mengatur tentang pemberian insentif pajak tanah dan perpajakan lainnya. Insentif diberikan untuk mengatasi harga tanah yang semakin melonjak. Ketiga, sesama pengembang nantinya dapat bekerja sama membangun hunian berimbang.

Keempat, kelonggaran dalam penentuan komposisi Lingkungan Hunian Berimbang (LBH). Nantinya komposisi LBH ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai kebutuhan, namun tetap mengacu pada komposisi 1:2:3. Artinya, saat membangun satu rumah mewah, pengembang wajib mengimbangi dengan membangun dua rumah menengah dan tiga rumah sederhana bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Kelima, penegasan aturan tentang hamparan kawasan pemukiman. "Ada penegasan ketentuan satu hamparan dan tidak dalam satu hamparan sesuai ketentuan UU Perumahan dan Kawasan Permukiman," jelas Khawali.

Seperti diketahui, UU itu menyebutkan, pembangunan perumahan skala besar yang dilakukan badan hukum wajib mewujudkan hunian berimbang dalam satu hamparan.

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda menilai, ketentuan konsep hunian berimbang bermasalah pada ketersediaan lahan. Lokasi pembangunan hunian kelas satu memiliki harga tanah tinggi, sehingga pengembang kesulitan memenuhi pembangunan rumah MBR. "Pengembang bukan tidak mau, masalahnya harga tanah mahal kalau dipaksakan membangun rumah menengah ke bawah," ujarnya.

Untuk itu Ali berharap lokasi pembangunan bagi rumah MBR tidak perlu satu lokasi. Bila perlu, pemerintah menyediakan lahan bagi pemenuhan hunian berimbang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie