Aturan impor produk hortikultura berubah, produsen benih bisa terdampak



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah sudah mengubah beberapa peraturan terkait dengan impor produk hortikultura. Perubahan ini sejalan dengan putusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) setelah Amerika Serikat (AS) dan Selandia Baru memperkarakan kebijakan impor produk hortikultura, serta hewan dan produk hewan yang diterapkan Indonesia.

Permentan Nomor 24 tahun 2018 tentang perubahan atas Permen nomor 38 tahun 2017 tentang rekomendasi impor produk hortikultura, terdapat sejumlah penghapusan dan pelonggaran pasal. Salah satunya adalah dihapusnya pasal 6. Padahal pasal ini menyatakan impor produk hortikultura dilakukan di luar masa sebelum panen raya, panen raya dan sesudah panen raya dalam jangka waktu tertentu. Dengan begitu, impor bisa dilakukan tanpa pertimbangan masa panen dan produksi nasional.

Adanya perubahan aturan ini pun dianggap dapat berpengaruh terhadap produsen benih hortikultura. Managing Director East West Seed (Ewindo) Glenn Pardede berpendapat produk hortikultura yang mungkin terimbas aturan jni adalah bawang merah, putih dan cabai.


Berdasarkan pengalaman Glenn, saat impor bawang merah dibuka luas, terjadi penurunan penjualan benih Ewindo. “Pasti ada dampaknya bagi produsen benih. Dulu waktu impor bawang merah dibuk, saat itu petani menjadikan bawang yang diimpor sebagai bibit,” ujar Glenn kepada Kontan.co.id, Rabu (15/8).

Meski begitu, Glenn pun menuturkan saat ini kemampuan produksi bawang merah dan cabai di Indonesia sudah cukup mumpuni. Nilai tukar dolar yang tinggi pun menjadi satu alasan mengapa impor bawang merah dan cabai tak menjadi pilihan saat ini.

Glenn menyadari, perubahan aturan ini dikarenakan adanya putusan WTO. Dia pun berpendapat bila pemerintah menetapkan pembatasan impor yang kebablasan. Dia bilang, produk-produk yang belum diproduksi di dalam negeri pun turut dibatasi impornya.

“Kalau menurut saya, produk yang bisa diproduksi sebaiknya memang dibatasi. Tetapi untuk produk-produk sub tropis, yang tak bisa diproduksi di Indonesia ya dibuka saja impornya,” ujar Glenn.

Glenn pun meminta supaya impor benih dilonggarkan. Pasalnya, terdapat beberapa jenis benih yang tak bisa diproduksi di Indonesia. Sementara, impor benih ini sangat diproteksi. Padahal, harga benih hanya sekitar 3%-4% nilai produksi. Impor benih murag pun dianggap tidak akan mengurangi devisa negara namun justru meningkatkan produksi nasional.

Glenn menyampaikan, pihaknya belum bisa memperkirakan berapa pengurangan permintaan benih akibat perubahan peraturan ini. Dia mengatakan, perubahan target produksi dan penjualan benih Ewindo lebih dikarenakan pengaruh cuaca.

Hal senada pun disampaikan oleh Direktur Utama PT Pertani Wahyu. Menurutnya, perubahan aturan ini tak akan berpengaruh bagi produk hortikultura yang tak bisa ditanam di Indonesia. Namun, bagi produk hortikultura yang berkembang baik di Indonesia maka akan sangat menekan produk yang ditanam di dalam negeri.

“Itu artinya bisa jadi luas tanammnya akan berkurang dan pada akhirnya kebutuhan benihnya juga berkurang,” ujar Wahyu.

Wahyu, mengakui, biasanya produk Indonesia memang masih kalah bersaing dengan produk impor. Bila produk petani kalah bersaing, maka gairH menanamnya akan menjadi lemah. Dia berpendapat, kehidupan petani pun akan lebih membaik bila ada perlindungan dari serbuan produk impor. Karenanya, bila sebuah komoditas bisa ditanam di Indonesia, maka pemerintah harus mengendalikan impor lewat regulasi yang ada.

“Kalau masalahnya karena negara pengekspor di WTO misalnya, maka diperlukan kemampuan negosiasi atau lobi pemerintah demi melindungi petani juga termasuk peternak,” jelas Wahyu.

Meski begitu, Wahyu mengatakan pihaknya tetap optimistis bisa mencapai target produksi benih tahun ini. Apalagi, saat ini Pertani tak banyak memproduksi benih hortikultura kecuali sayuran dan benih bawang putih. “Sepanjang petani bergairah untuk tanam sayuran dan bawang putih maka prospek bisnis benihnya masih akan bagus,” tandas Wahyu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat