KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengeluarkan beleid yang mengatur tentang segmen pasar pekerjaan konstruksi berdasarkan nilai pekerjaan untuk kualifikasi kontraktor besar, menengah dan kecil. Dalam aturan tersebut dijelaskan nilai kontrak Rp 2,5 miliar hanya diperbolehkan untuk perusahaan konstruksi kecil. Kemudian nilai di atas Rp 1,5 miliar hingga Rp 50 miliar untuk perusahaan konstruksi menengah. Selanjutnya nilai kontrak di atas Rp 50 miliar - Rp 100 miliar hanya diperbolehkan untuk konstruksi besar non-BUMN, dan nilai di atas Rp 100 miliar hanya untuk perusahaan konstruksi besar. Dalam hal ini perusahaan konstruksi besar salah satunya dihitung berdasarkan nilai kekayaan bersih di atas Rp 10 miliar.
Analis NH Korindo Sekuritas Ajeng Kartika Hapsari menjelaskan aturan ini akan mendistribusi paket-paket kontrak konstruksi secara lebih merata berdasarkan segmen kualifikasi usaha. Sehingga lebih menguntungkan bagi emiten dengan kualifikasi usaha kecil hingga menengah dan emiten swasta dengan kualifikasi usaha besar yang mendapat kesempatan ikut andil dalam proyek pemerintah.
Baca Juga: Kontrak konstruksi di bawah Rp 100 miliar hanya untuk swasta "Diterapkannya peraturan ini akan berdampak signifikan pada perolehan proyek bagi emiten konstruksi swasta pada kualifikasi kecil hingga menengah," jelas Ajeng, Kamis (17/12). Sementara itu, lanjut Ajeng, dalam aturan ini emiten konstruksi BUMN dengan kualifikasi usaha besar disebutkan hanya dapat memperoleh proyek dengan nilai pekerjaan di atas Rp 100 miliar. Namun peraturan ini dinilai tidak berdampak signifikan terhadap perolehan kontrak baru emiten konstruksi BUMN. "Rendahnya perolehan kontrak baru tahun ini justru lebih disebabkan oleh adanya PSBB akibat pandemi. Terbukti raihan kontrak baru emiten konstruksi BUMN hingga November 2020 sudah berada di atas 60% dari target 2020," jelasnya. Adapun capaian kontrak baru PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) saat ini mencapai 84,22% dari target, PT PP Tbk (PTPP) mencapai 70%, sedangkan PT Adhi Karya Tbk (ADHI) dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) masing-masing 62,9% dan 60%. Lebih lanjut, ke depannya proyek konstruksi akan kembali digenjot oleh pemerintah, terlebih dengan dibentuknya Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia saat ini, Ajeng masih yakin secara kinerja, emiten konstruksi BUMN masih memiliki fundamental yang menjanjikan. Analis Sucor Sekuritas Joey Faustian juga sependapat, beleid ini memiliki dampak kecil pada emiten konstruksi karena segmen kontrak di bawah Rp 100 miliar terhitung kecil. Aturan ini lebih menguntungkan bagi perusahaan konstruksi swasta seperti PT Acset Indonusa Tbk (
ACST), PT Nusa Raya Cipta Tbk (
NRCA), PT Total Bangun Persada Tbk (
TOTL), dan PT Totalindo Eka Persada Tbk (
TOPS).
"Tentunya porsi kontrak di bawah Rp 100 miliar yang tidak diambil BUMN jadi lebih banyak," imbuh Joey. Ajeng merekomendasikan beli untuk saham
PTPP dan
WIKA. Karena tahun ini, keduanya mampu mencapai raihan kontrak baru di atas 70% dari target. Selain itu price earning ratio (PER) WIKA masih lebih rendah dibandingkan emiten konstruksi BUMN lain. PTPP dan WIKA juga memiliki
debt to equity ratio (DER) rendah di angka 141% dan 137,65%. Sehingga masih ada ruang bagi kedua emiten tersebut untuk menambah pendanaan bagi pembangunan proyek. Adapun target harga WIKA Rp 2.180 dan PTPP Rp 1.940.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi