Dunia keuangan dan akuntansi tidak pernah sepi dari
headline pemberitaan. Mei tahun lalu, kita kaget ketika terkuak kasus gagal bayar utang PT SNP Finance ke 14 bank dan MTN yang diterbitkan. Yang lebih menyesakkan lagi, peringkat efek perusahaan ini ternyata baru saja naik dari A- jadi A dua bulan sebelumnya. Akibat kasus ini, dua Akuntan Publik (AP) dan Kantor Akuntan Publik (KAP) yang memeriksa laporan keuangan perusahaan ini tidak diperpanjang izin praktiknya di sektor perbankan, pasar modal dan IKNB. Mereka dinilai melakukan pelanggaran berat, yaitu memberi opini yang tidak mencerminkan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Karena sudah menjadi auditornya sejak lama, AP merasa sangat memahami dan percaya akan kelangsungan usaha (
going concern) SNP Finance. Seharusnya mereka menilai kliennya berisiko tinggi melakukan
fraud, karenanya perlu menambah porsi pengujian substantif, seperti menambah sampel untuk konfirmasi piutang.
Jika saja ini dilakukan, sangat mungkin akan terungkap banyak piutang fiktif yang dicatat dalam buku perusahaan. Selain AP dan KAP, manajemen perusahaan pun dikenakan pasal berlapis. Industri pembiayaan juga tidak luput. Jadi sangat sulit bagi mereka menerbitkan surat utang. Perbankan juga menyetop pemberian kredit baru. Tidak belajar dari kasus yang menimpa KAP Big Four di atas, seorang Akuntan Publik kembali terkena sanksi. Kali ini terkait penyajian laporan keuangan Garuda Indonesia tahun buku 2018 yang tidak sesuai dengan standar akuntansi berlaku, khususnya atas perjanjian kerjasama Garuda dengan PT Mahata Aero Teknologi. AP yang bertanggung jawab dijatuhkan sanksi pembekuan izin 12 bulan karena melakukan pelanggaran berat yang berpotensi berpengaruh signifikan terhadap opini Laporan Auditor Independen (LAI). AP yang memeriksa Garuda dinilai belum sepenuhnya mematuhi standar audit (SA) atau Standar Profesional Akuntan Publik. Sedang KAP, hanya dapat peringatan tertulis disertai kewajiban melakukan perbaikan terhadap Sistem Pengendalian Mutu KAP dan dilakukan kajian oleh afiliasi asingnya, BOD International Limited. Sebab, AP yang terkena sanksi hanya satu orang, tidak dua orang seperti kasus SNP Finance. Apa yang salah dengan laporan keuangan Garuda? Ini semua berawal dari laporan keuangan hingga akhir September 2018 yang masih rugi besar. Posisi rugi ini tiba-tiba berbalik jadi untung pada akhir 2018. Perubahan drastis ini ternyata karena ada satu transaksi pengakuan pendapatan lain-lain atas kerjasama dengan perusahaan swasta yang belum dikenal. Nilainya fantastis, US$239,94 juta, termasuk US$28 juta bagi hasil dari Sriwijaya Air. Tanpa transaksi ini, Garuda masih rugi US$239,1 juta, lebih besar dari kerugian USD216,6 juta di 2017. Pencatatan pendapatan ini menimbulkan kecurigaan. Tambah lagi, dua dari lima komisarisnya memberikan
dissenting opinion dan tidak bersedia menandatangani laporan tahunan perseroan. Sejak awal, ketika ditanya wartawan pada malam setelah RUPS Tahunan April lalu, saya sepakat dengan pandangan dua komisaris di atas. Tidak ada dasar yang kuat untuk pengakuan pendapatan ini, karena kontrak kerjasama dapat dikaji tiga bulan sekali, sesuai dengan kemampuan finansial Mahata. Kontrak dapat dibatalkan dan tidak ada bank garansi untuk memastikan pendapatan akan diterima. Apalagi, Mahata hanya memiliki aset sekitar Rp 10 miliar, sementara tagihan yang harus dibayarkan ke Garuda Rp3,36 triliun. Angka US$ 239,94 juta tersebut adalah untuk 15 tahun dan bukan untuk satu tahun atau tiga bulan (Oktober-Desember 2018). Belum adanya terms of payment membuat sulit mencatat dengan akurat alokasi pendapatan untuk 2018. Untuk praktisnya, angka yang dapat diakui untuk 2018 adalah angka di atas dibagi 15 tahun dan dikali 3 bulan/12, atau hanya sebesar US$ 4 juta. Ini pun dengan tambahan asumsi tingkat diskonto 0%. Kenyataannya, Garuda baru menyelesaikan instalasi pada satu dari 203 pesawat yang dijanjikan untuk layanan konektivitas dan 99 pesawat untuk layanan hiburan, atau kurang dari 1%. Dus, tidak mengherankan jika tidak ada kas masuk pada laporan keuangan 2018 dan triwulan I-2019. Standar akuntansi yang ada (PSAK 23) telah jelas mengatur, jangankan untuk kas yang belum diterima, untuk kas yang sudah diterima pun yang boleh dicatat sebagai pendapatan adalah yang sudah dihasilkan (
earned) dan jasanya sudah diberikan (
rendered). Pendapatan diakui bila sudah terealisasi dan diperoleh (umumnya bila barang ditransfer atau jasa diselesaikan). Contoh lain, sebuah perusahaan menerima uang sewa properti miliknya Rp 300 juta untuk 3 tahun ke depan pada Oktober 2018. Berapa yang dapat dia akui sebagai pendapatan sewa di laporan keuangan 2018? Jawabnya adalah hanya Rp 25 juta, yaitu Rp 300 juta dibagi 3 tahun kemudian dikali 3 bulan/12. Sisanya harus dicatat sebagai utang atau pendapatan diterima di muka karena belum earned. Inilah yang diajarkan dalam kuliah Pengantar Akuntansi dan kerap ditanyakan dalam ujian CFA level 1 untuk bagian Analisis Laporan Keuangan.
Logika akuntansi yang sederhana jangan dibuat rumit demi membela manajemen Garuda. Jika ada pakar yang mengatakan "karena bisnis
startup model bisnisnya baru dan cara pembayarannya belum banyak dikenal orang sehingga wajar punya logika sendiri dan cara baru yang orang belum tahu", saya merasa perlu meluruskan. Pernyataan itu merendahkan peran akuntan dan akuntan publik dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan yang wajar dan dapat diandalkan dengan berpegang pada serangkaian prinsip dan standar akuntansi yang berlaku. Aturan-aturan akuntansi itu adalah acuan dan
rules of the game dalam dunia pencatatan dan pelaporan keuangan.♦
Budi Frensidy Komite Audit Beberapa Korporasi dan Staf Pengajar FEB-UI Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi