Aturan outsourcing masih setengah hati



JAKARTA. Bila tak ada aral melintang, pekan ini pemerintah akan menerbitkan aturan baru penggunaan jasa alih daya (outsourcing). Toh, pro kontra penggunaan outsourcing agaknya masih panjang. Maklum, aturan penggunaan tenaga alih daya itu masih menyisakan sejumlah pasal karet yang berpotensi memicu kontroversi baru.

Sebagai catatan, hari ini (11/10), pemerintah menyodorkan calon beleid itu kepada Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional. Pemerintah  ingin meminta pendapat pekerja dan pengusaha soal pengaturan pekerja alih daya. Namun, pengesahan beleid itu tetap di tangan pemerintah.

Nah, rancangan aturan yang salinannya diperoleh KONTAN menyebutkan, pekerjaan yang bisa dialihdayakan harus berupa jasa penunjang, bukan pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Draf aturan bertajuk Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) tentang Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain itu menetapkan lima jasa yang boleh dialihdayakan. Yakni, jasa kebersihan, penyediaan makanan (katering), tenaga pengamanan, jasa penunjang pertambangan dan perminyakan, serta penyediaan angkutan bagi pekerja (lihat tabel).


Persoalannya, calon aturan itu tidak tegas mengunci penggunaan outsourcing hanya pada lima bidang penunjang produksi. Aturan ini masih membuka peluang bagi kegiatan jasa penunjang lain, selama mendapat restu dari Menteri Tenaga Kerja.

Ketentuan itu yang dianggap sebagai pasal karet. "Tegas saja, jangan membuka peluang pekerjaan yang lain," tandas Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), kemarin.

Toh, pemerintah punya dalih sendiri. Ruslan Irianto Simbolon, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemnakertrans, menyatakan, UU Ketenagakerjaan sebenarnya membuka peluang lebar penggunaan tenaga alih daya di berbagai kegiatan bisnis.  Nah, menurut dia, rancangan Permenakertrans ini  justru memperketat syarat penggunaan jasa outsourcing.

Misalnya, pemberi pekerjaan outsourcing mesti menjelaskan rincian pekerjaan di perusahaannya. Ini untuk memperjelas pekerjaan itu termasuk pekerjaan utama atau sekadar pekerjaan penunjang. Syarat lainnya adalah harus meraih izin Menteri Tenaga Kerja.

Naga-naganya, beleid ini bakal menjadi polemik baru antara buruh dan pengusaha. "Tak ada kompromi, sistem outsourcing harus dihapus," tandas Nining Elitas, Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).

Sebaliknya, pengusaha tetap ingin mempertahankan outsourcing. Sofyan Wanandi, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, menandaskan, outsourcing tak bisa dihapus karena UU Ketenagakerjaan membolehkannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.