Aturan pajak jangan melanggar kerahasiaan bank



JAKARTA. Strategi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengejar setoran pajak lewat Peraturan Nomor PER-01/PJ/2015 tentang pemotongan pajak deposito, mulai menuai polemik.

Dalam beleid 26 Januari 2015 itu, Ditjen Pajak mewajibkan perbankan menyerahkan data bukti potong Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) deposito dan tabungan milik nasabahnya secara rinci. Misal, nasabah pemilik deposito 100 deposan, maka yang wajib dilaporkan harus 100 deposan.

Selama ini, perbankan memberikan data bukti potong PPh deposito dan tabungan tidak menyertakan bukti potong setiap nasabah. Nah, dengan formulir yang lebih rinci, petugas pajak bisa mengetahui jumlah deposan.


Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perbankan I Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mulya E. Siregar mengungkapkan, pemberlakuan aturan ini berpotensi melanggar Undang-Undang Perbankan, termasuk pelanggaran kerahasiaan bank dan juga kerahasiaan nasabah. Sebab, kata Mulya, UU Perbankan mengamanatkan untuk merahasiakan data nasabah terkait dana pihak ketiga.

Ini artinya, bukti potong Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) deposito dan tabungan milik nasabah, tidak boleh dibocorkan dan harus dirahasiakan.

"Undang-Undang Perbankan yang mengamanatkan hal itu. Data nasabah jelas tidak boleh dibocorkan atau diminta secara langsung. Data nasabah hanya boleh diminta jika ada permasalahan pengemplangan pajak. Jadi ada kasus menyangkut nasabah dulu, baru perbankan bisa memberikan data nasabah untuk penyelesaian permasalahan," jelas Mulya di Jakarta, Selasa (17/2).

Mulya bilang, data nasabah atau data pemegang dana pihak ketiga (DPK) di perbankan yang tidak terkait dengan kasus pengemplangan pajak, tidak boleh diminta dan harus dirahasiakan. Sebab, jika bukti potong Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) deposito dan tabungan milik nasabah diserahkan, maka, pihak-pihak lain dapat mengkalkukasi dan akhirnya bisa mengetahui jumlah total DPK yang ada di bank tersebut.

"Bukti potong pajak sekian dikalikan dengan persentase pajak sekian, maka hitung-hitungan itu akan ketahuan jumlah totalnya. Padahal itu yang harus dijaga. Kalau begitu nanti, maka rahasia bank dan rahasia nasabah bisa terbuka," ucapnya.

Meski begitu, Mulya menjelaskan bahwa OJK sebagai otoritas lembaga keuangan mendukung penerapan aturan tersebut. Namun yang harus digarisbawahi, kata Mulya, adalah kemungkinan ada tidaknya pelanggaran kerahasiaan bank termasuk pelanggaran kerahasiaan nasabah.

"Kami mendukung sekali supaya bisa sinkron misalnya. Cuma saja, jangan sampai ada pelanggaran kerahasiaan bank dan kerahasiaan nasabah," kata Mulya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia