Jakarta. Pemerintah berjanji akan mengakomodasi keluhan industri kehutanan dan industri kertas terkait dengan hambatan-hambatan yang ada. Pemerintah juga akan mereview regulasi yang ada agar dapat memudahkan pengusaha serta dapat menarik investor. Saleh Husin, Menteri Perindustrian mengatakan, potensi industri hutan dan kertas di Indonesia masih lebar untuk dikembangkan, namun perlu dorongan dari pemerintah.
"Harus dipacu agar bisa tumbuh dengan pemberian insentif-insentif dan kebijakan," kata dia usai bertemu Presiden Joko Widodo di Komplek Istana Kepresidenan, Selasa (2/2). Sebagai contoh, total hasil devisa dari kedua industri mencapai US$ 6 miliar per tahun, serta mampu menyerap kerja sebanyak 2,1 juta orang. Menurut Saleh, saat ini Indonesia hanya masuk peringkat sembilan besar industri hutan dan kertas, padahal dengan potensi yang bisa peringkat bisa naik menjadi lima besar. Dia bilang, akan berkoordinasi dengan sektor lain seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk merumuskan strategi mendorong industri tersebut. Nah, beberapa regulasi yang akan review antara lain, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39/2009 terkait ketentuan impor limbah B3, serta Permendag Nomor 89/2015 terkait ekspor kehutanan. Selain itu, industri kertas asal Tanah Air juga kerap mendapatkan perlakuan safe guard dari negara lain, misalnya Amerika Serikat yang memasang tarif impor hingga 80%. "Dalam era
free trade ini, kami akan aktif dukung pengusaha, sebagai langkah anti dumping," ujar Saleh. Siti Nurbaya, Menteri LHK mengatakan, pengusaha hutan meminta dukungan kebijakan fiskal karena saat ini menerima banyak pungutan seperti pajak nilai tegakan, padahal di sisi lain pengusaha juga telah dikenakan PBB, dan PSDH. "Kami akan lihat kembali, kalau memang betul-betul membuat sulit. Untuk pajak lainya, kami akan konsultasikan dengan Kementerian Keuangan," kata dia. Menurut Siti, pihaknya juga berjanji akan membantu kesulitan-kesulitan pengusaha hutan terkait kegiatan ekspor di Eropa. Pasalnya, saat ini sertivikat verifikasi legalitas kayu (SVLK) tidak diakui di negara setempat, sehingga pengusaha Indonesia harus membayar iuran senilai US$ 2.000 per kontainer untuk verifikasi kayu. Tony Wenas, Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp & Paper mengatakan, pihaknya meyambut positif upaya pemerintah untuk melakukan review regulasi. "Perlu difasilitasi asal jangan dihambat. Insentif yang kami minta tentu banyak yang berlaku juga pada industri lain, seperti diberikan tax allowance dan tax amnesty untuk ekspansi usaha," ujar dia.
Dia menambahkan, potensi hutan tanaman industri (HTI) sejatinya berpotensi bertambah menjadi 10 juta hektare, namun sampai kini jumlahnya baru mencapai 4 juta ha akibat banyaknya protes dari LSM asing. "Kami ingin duduk dengan pemerintah untuk membahas lebih detail," kata Tony. Muhammad Yazid Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Adi Wikanto