Aturan Soal Rokok Lebih Ketat: Perlindungan Kesehatan atau Pembatasan Bisnis?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perilaku merokok di Indonesia telah menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang serius, terutama di kalangan anak dan remaja. 

Sejalan dengan meningkatnya prevalensi perokok pemula, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mengambil langkah tegas dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. 

Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang secara khusus mengatur pengendalian zat adiktif, termasuk produk tembakau dan rokok elektronik.

Tantangan Konsumsi Rokok di Kalangan Remaja


Prevalensi perokok di kalangan remaja Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan. 

Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 melaporkan bahwa 7,4% dari 70 juta perokok aktif di Indonesia berusia antara 10 hingga 18 tahun. 

Sementara itu, kelompok usia 15-19 tahun merupakan penyumbang terbesar dengan 56,5%, diikuti oleh kelompok usia 10-14 tahun sebesar 18,4%. 

Peningkatan konsumsi rokok di kalangan remaja ini memerlukan perhatian khusus, mengingat dampak buruknya terhadap kesehatan jangka panjang.

Salah satu fokus utama dari PP No. 28 Tahun 2024 adalah pengaturan penjualan rokok secara eceran. 

“Penjualan secara eceran sangat rentan produk mudah diakses oleh perokok pemula anak dan remaja, yang memang kita ingin tekan tingkat konsumsinya,” kata Kepala Biro Hukum Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Indah Febrianti.

Pasal 434 dari peraturan tersebut melarang penjualan rokok eceran secara satuan, kecuali untuk produk tertentu seperti cerutu dan rokok elektronik. 

Selain itu, penjualan rokok dilarang dilakukan melalui mesin layan diri, dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta menggunakan media online tanpa verifikasi umur.

Baca Juga: Pelarangan Rokok Eceran, Ini Tujuan Utama Pemerintah Memberlakukannya

Iklan rokok dilarang ditayangkan di fasilitas publik seperti fasilitas kesehatan, tempat ibadah, dan angkutan umum, serta di media luar ruang di dekat satuan pendidikan dan tempat bermain anak. 

Ketentuan ini diperkuat dengan pembatasan jam tayang iklan rokok di media elektronik, yang hanya diperbolehkan antara pukul 22.00 hingga 05.00 waktu setempat.

Sebagai bagian dari upaya edukasi publik, PP No. 28 Tahun 2024 mewajibkan pencantuman gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan rokok. 

Gambar peringatan ini harus mencakup 50% dari bagian depan dan belakang kemasan, dan dicetak dengan jelas serta mencolok. 

Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya merokok dan mendorong perilaku hidup sehat.

Kebijakan pengendalian rokok yang diatur dalam PP No. 28 Tahun 2024 tidak hanya ditujukan untuk menekan konsumsi rokok di kalangan anak dan remaja, tetapi juga bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat dampak merokok. 

Dengan membatasi aksesibilitas dan pengaruh iklan rokok, diharapkan masyarakat, terutama generasi muda, dapat lebih memahami risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok dan zat adiktif lainnya.

Meskipun peraturan ini sudah diundangkan, tantangan dalam implementasinya masih ada. 

Perubahan perilaku masyarakat, terutama dalam hal konsumsi rokok, memerlukan waktu dan upaya yang berkelanjutan. 

Pemerintah perlu terus memantau dan menegakkan aturan ini secara konsisten untuk memastikan keberhasilannya dalam jangka panjang.

Industri Rokok Khawatir

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) telah mengungkapkan kekhawatiran mendalam terhadap penerapan PP No. 28 Tahun 2024.

Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, menilai beleid tersebut lebih banyak mengatur aspek bisnis dari industri hasil tembakau dibandingkan aspek kesehatan yang seharusnya menjadi fokus utama. 

GAPPRI menilai bahwa cakupan yang begitu luas ini justru melampaui kewenangan yang seharusnya diemban oleh PP tersebut, sehingga berpotensi menimbulkan dampak yang merugikan bagi industri hasil tembakau (IHT).

Salah satu dampak paling signifikan yang dikhawatirkan oleh GAPPRI adalah potensi gulung tikarnya IHT legal di Indonesia. 

Sebelum PP No. 28 Tahun 2024 diberlakukan, IHT sudah menghadapi berbagai tantangan berat, termasuk kenaikan tarif cukai yang dinilai eksesif sejak tahun 2020, serta tekanan akibat pandemi Covid-19 dan situasi ekonomi global yang tidak stabil. 

Dengan adanya PP ini, beban yang harus ditanggung oleh IHT legal menjadi semakin berat, terutama terkait biaya yang tinggi untuk memenuhi ketentuan baru mengenai perubahan kemasan, bahan baku, dan aturan penjualan.

Selain kekhawatiran terkait dampak ekonomi, GAPPRI juga mencurigai adanya agenda asing yang berpotensi merugikan industri tembakau nasional. 

PP No. 28 Tahun 2024 dinilai lebih condong ke arah perdagangan daripada perlindungan kesehatan, yang membuka ruang bagi campur tangan pihak asing dalam regulasi tembakau di Indonesia. 

Baca Juga: Terbitnya PP tentang Kesehatan Dikhawatirkan Tingkatkan Peredaran Rokok Ilegal

Hal ini terlihat dari beberapa ketentuan yang dinilai terlalu restriktif dan dapat mematikan industri rokok kretek, terutama untuk segmen kelas menengah ke bawah.

GAPPRI menyatakan bahwa implementasi PP No. 28 Tahun 2024 berpotensi memicu krisis dalam industri hasil tembakau legal di Indonesia. 

Peraturan yang semakin ketat ini dapat mengakibatkan peningkatan biaya produksi, penurunan penjualan, dan pada akhirnya, kebangkrutan bagi pelaku usaha di sektor ini. 

GAPPRI juga mengingatkan bahwa peraturan ini mungkin akan menyebabkan hilangnya mata pencaharian bagi ribuan pekerja yang bergantung pada industri tembakau.

Selain itu, GAPPRI mengkhawatirkan dampak jangka panjang dari regulasi ini terhadap ekonomi nasional, mengingat IHT legal merupakan salah satu penyumbang terbesar bagi penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau.

Penurunan produksi rokok yang disebabkan oleh kebijakan fiskal dan peraturan yang terlalu restriktif dapat berimbas pada menurunnya penerimaan negara, serta meningkatnya peredaran rokok ilegal yang sulit dikendalikan.

Meskipun GAPPRI menyampaikan berbagai kekhawatiran terhadap PP No. 28 Tahun 2024, organisasi ini tetap berkomitmen untuk mematuhi peraturan yang telah disahkan oleh pemerintah. 

Saham Emiten Rokok

Abdul Azis Setyo Wibowo, analis dari Kiwoom Sekuritas Indonesia, mengungkapkan PP No. 28 Tahun 2024 diperkirakan akan berdampak negatif terhadap emiten rokok. 

Larangan ini dianggap dapat mendorong invasi produk rokok murah yang berpotensi menurunkan penjualan emiten rokok besar seperti PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP). 

Selain itu, tren tingwe (linting dhewe) yang sedang berkembang di masyarakat juga diprediksi akan memperburuk penurunan penjualan ini.

Kebijakan larangan ini tidak hanya mempengaruhi penjualan, tetapi juga memiliki dampak langsung terhadap kinerja saham emiten rokok. 

Penurunan penjualan di sektor ini kemungkinan besar akan mempengaruhi nilai saham emiten rokok yang telah mapan di pasar. 

Beberapa emiten mungkin mengalami tekanan pada harga sahamnya sebagai dampak dari kebijakan ini.

Sementara, Nafan Aji Gusta, Senior Investment Information dari Mirae Aset Sekuritas Indonesia, mengatakan, kebijakan pembatasan penjualan rokok tidak signifikan bagi emiten rokok. 

Menurutnya, faktor yang lebih dominan mempengaruhi penurunan penjualan adalah kenaikan cukai rokok yang terus meningkat setiap tahun. 

Tren kenaikan cukai ini telah memberikan tekanan besar pada kinerja saham emiten rokok, dan dampaknya jauh lebih terasa dibandingkan dengan kebijakan larangan penjualan rokok eceran.

Pedagang Kecil Terpengaruh

Keseimbangan antara kepentingan kesehatan masyarakat dan keberlangsungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) turut menjadi fokus utama dalam implementasi kebijakan pembatasan penjualan rokok ini. 

Pemerintah perlu menemukan titik tengah equilibrium yang memberikan solusi win-win bagi semua pihak. 

Satu sisi, upaya menekan angka perokok anak harus tetap menjadi prioritas, namun di sisi lain, keberlangsungan UMKM sebagai penggerak ekonomi rakyat juga tidak boleh diabaikan.

Anggota Komisi VI DPR RI, Putu Supadma Rudana, mengatakan, UMKM adalah tulang punggung perekonomian Indonesia, dan kebijakan semacam ini dapat menimbulkan tekanan ekonomi baru bagi mereka.

"Harus ditemukan titik tengah equilibrium (keseimbangan). Harapannya betul-betul nanti memberikan win-win solution kepada semua pihak," ujar Putu.

Baca Juga: Penerbitan Aturan PP Kesehatan Dinilai Ancam Keberlanjutan Industri Hasil Tembakau

Penerimaan Cukai Rokok

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Kementerian Kuangan (Kemenkeu), Nirwala Dwi Heryanto, mengungkapkan, kebijakan larangan penjualan rokok eceran tidak akan berdampak negatif terhadap penerimaan cukai ke kas negara. 

Hal ini disebabkan karena mekanisme pengumpulan cukai yang dilakukan langsung dari pabrik, di mana cukai dikenakan pada setiap pack rokok yang diproduksi dan bukan pada tingkat penjualan eceran. 

Data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu menunjukkan bahwa hingga Semester I-2024, penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) mengalami kontraksi sebesar 4,43% year on year (YoY), dengan total penerimaan mencapai Rp 97,84 triliun. 

Meskipun terdapat penurunan, kinerja penerimaan cukai ini menunjukkan perbaikan dibandingkan periode sebelumnya. Pada Mei 2024, penerimaan cukai sempat terkontraksi sebesar 13,35% YoY.

Penurunan penerimaan cukai pada awal tahun ini sebagian besar disebabkan oleh kebijakan relaksasi penundaan pelunasan cukai yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-2/BC/2024. 

Kebijakan ini memperpanjang periode pelunasan cukai dari 60 hari menjadi 90 hari, yang menyebabkan sebagian penerimaan cukai Mei 2024 bergeser ke Juni 2024. 

Namun, DJBC optimis bahwa dampak pergeseran tersebut akan kembali normal hingga akhir tahun 2024.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .