Aturan tarif diperketat, kepak GIAA makin kuat



JAKARTA. Duka mendalam atas tragedi pesawat Air Asia tak mengendurkan persaingan sengit di bisnis penerbangan nasional. Apalagi, pemerintah bakal memperketat aturan, termasuk mengerek tarif batas bawah maskapai penerbangan. Beleid ini mengatur tarif batas bawah untuk maskapai berbiaya murah alias low cost carrier (LCC).

Kelak, operator penerbangan hanya boleh memberlakukan tarif batas bawah sebesar 40% dari patokan tarif batas atas. Hal ini menjadikan persaingan antar-maskapai semakin sengit. Maklum, banyak operator yang masih mengandalkan tarif promosi sebagai alat mengerek pangsa pasar.

Lantas, bagaimana prospek PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) sebagai salah satu maskapai yang cenderung memberlakukan tarif reguler ketimbang tarif promosi?


Kepala Riset First Asia Capital, David Nathanael Sutyanto mengatakan, kebijakan itu justru menjadi angin segar bagi Garuda Indonesia. Sebab, selisih harga yang diberlakukan nanti semakin tipis. "Jika perbedaannya tak terlalu jauh, konsumen malah bisa beralih ke Garuda Indonesia dengan pelayanan yang lebih baik," tutur dia.

Pendapat serupa disampaikan Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri. "Kebijakan itu berpeluang bagi Garuda Indonesia meningkatkan market share," kata dia.

Terus bertumbuhnya masyarakat kelas menengah semakin membuka peluang bagi GIIA menjadi pilihan utama. Bahkan Hans menilai, maskapai yang bakal tertekan atas kebijakan tarif batas bawah adalah operator yang cenderung mengandalkan tarif promosi, seperti Lion Air, Sriwijaya Air dan Air Asia.

Sementara, Senior Analyst LBP Enterprise Lucky Bayu Purnomo menilai, rencana kebijakan pemerintah berpotensi menekan prospek industri penerbangan. Menurut dia, pembatasan tarif penerbangan bisa mengurangi pendapatan tiket. "Sehingga bisa dipastikan, industri penerbangan komersial akan mengalami penurunan," tutur dia.

Masih prospektif

Namun bagi David dan Hans, bisnis penerbangan masih cukup menarik. Ini lantaran harga minyak mentah di pasar internasional menurun. Alhasil, harga avtur ikut menyusut. Kedua analis menilai, penurunan harga bahan bakar menguntungkan maskapai penerbangan. Hal itu pun menyebabkan biaya operator menurun.

Faktor lain yang bisa mengerek prospek GIAA adalah pembukaan rute baru. Pada 13 Januari 2014, GIAA menambah rute penerbangan, yakni penerbangan langsung Beijing-Denpasar. Sedangkan tantangan yang dihadapi Garuda Indonesia adalah pelemahan rupiah terhadap dollar AS. Maklum, sebagian utang GIAA berbentuk dollar AS.

Hans menilai wajar jika utang Garuda Indonesia besar. Ini lantaran GIAA harus memiliki dana belanja modal cukup besar untuk membeli pesawat baru. Dengan menambah pesawat baru, market share juga ikut naik.

David merekomendasikan beli GIIA dengan target harga wajar Rp 750 per saham. Sedangkan Lucky dan Hans merekomendasikan hold dengan target harga masing-masing Rp 625 dan Rp 700 per saham. Harga saham GIAA kemarin (14/1) menyusut 0,81% menjadi Rp 610 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie