Aturan tarif & repatriasi aset hambat Tax Amnesty



Jakarta. Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai membahas rancangan undang-undang (RUU) pengampunan pajak atau tax amnesty, kemarin. Dalam pembahasan perdana itu, Komisi XI menemukan tiga ganjalan.

Ketua Komisi XI DPR Ahmadi Noor Supit menjelaskan, ganjalan pertama, manfaat tax amnesty bagi penerimaan.  Selama ini pemerintah menjanjikan ada potensi penerimaan negara yang besar dari kebijakan ini sehingga bisa menutupi kekurangan penerimaan negara 2016.

Untuk memastikannya, Komisi XI DPR akan menggelar rapat dengar pendapat dengan sejumlah pengusaha. RDP ini  untuk mengetahui potensi penerimaan yang sebenarnya.


Sebab pengusaha merupakan pihak yang akan menjadi objek pengampuan pajak. "Apakah benar dampaknya signifikan terhadap penerimaan?" kata Ahmadi, Senin (18/4).

Kedua, mengenai tarif tebusan. Dalam draf RUU tax amnesty, pemerintah mengusulkan tarif 2%, 4% dan 6% untuk pemohon yang tidak melakukan repatriasi aset. Tarif lebih murah 1%,2%, dan 3% untuk yang pemohon yang melakukan repatriasi aset. Komisi XI DPR ingin melihat tarif ini sudah sesuai aturan atau terlalu rendah.

Ketiga, repatriasi aset. Dalam RUU disebutkan repatriasi aset bukan kewajiban. Jika terjadi repatriasi, asetnya harus dibawa masuk ke sistem keuangan di dalam negeri dan tidak boleh diambil dalam tiga tahun.

Anggota Komisi XI dari PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno bilang repatriasi aset akan percuma jika instrumen investasi di Indonesia masih terbatas dan tidak menguntungkan.

Jangka waktu tiga tahun dianggap masih terlalu singkat dan dampaknya akan minim bagi pembangunan nasional. Hendrawan ingin dana itu langsung berkontribusi bagi proyek infrastruktur.

Sementara proyek infrastruktur minimal membutuhkan waktu lima tahun. "Harus didorong di atas tiga tahun," katanya.

Hendrawan memperkirakan, pembahasan RUU ini akan lebih dari sebulan. Apalagi masa sidang April ini berakhir tanggal 29 April.

Anggota Komisi XI fraksi Partai Golkar Airlangga Hartarto mengaku akan  mendorong tax amnesty untuk pengusaha kecil menengah atau pekerja informal tanpa NPWP. Mereka tak punya NPWP namun penghasilannya cukup besar.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo melihat masalah tarif dan skema repatriasi menjadi poin kritis. Dia melihat idealnya penyusunan RUU tax amnesty mengarah ke reformasi perpajakan bersamaan pembahasan RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Namun itu tidak realistis karena perlu waktu lebih panjang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto