KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Parulian Paidi Aritonang menyerukan pemerintah untuk memperluas aturan terkait
carbon capture storage (CCS) guna menangkap peluang ekonomi, khususnya di sektor ketenagalistrikan. “Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi permintaan listrik yang meningkat sambil mengurangi jejak karbon. Pemerintah juga harus menjaga agar harga listrik tetap terjangkau bagi konsumen dan dunia usaha,” kata Parulian dalam FGD Pemanfaatan Teknologi CCS, seperti dikutip Minggu (7/7). FGD ini digelar menyusul terbitnya dua regulasi penting, yakni Perpres No. 14/2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon serta Permen ESDM No. 2/2023 tentang Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Menurut Parulian, teknologi CCS tidak hanya menyimpan emisi karbon dari pembangkit listrik, tetapi juga mendukung percepatan transisi energi di Indonesia.
Baca Juga: Menko Airlangga: Penerapan Ekonomi Hijau Bisa Menstabilkan Pertumbuhan Ekonomi "Saya berharap FGD ini menghasilkan kajian kelayakan, potensi manfaat, tantangan, serta bagaimana teknologi ini dapat membantu meminimalkan risiko kenaikan tarif listrik," tambahnya. Haposan Napitupulu, Expert Advisor PT ESSA, menyatakan bahwa implementasi CCS pada bisnis hulu migas tidak mengalami kendala karena biayanya sudah diakomodasi dalam cost recovery. “Namun, ini berbeda dengan sektor hilir seperti ketenagalistrikan, industri, dan transportasi yang tidak memiliki mekanisme cost recovery,” tegasnya. Ia menyarankan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk memetakan wilayah kerja migas yang sudah tidak optimal atau depleted reservoir dan membuka data fasilitas permukaan bagi penghasil karbon untuk dimanfaatkan sebagai penyimpanan karbon.
Baca Juga: Krakatau Steel Minta Pemerintah Perjelas Road Map Nol Emisi Karbon Industri Baja Saat ini, belum ada landasan hukum khusus untuk CCS di sektor ketenagalistrikan. Perpres No. 14/2024 hanya mengatur skema CCS di sektor hulu, sehingga diperlukan regulasi khusus untuk penanganan emisi CO2 di sektor ketenagalistrikan agar tidak berdampak pada peningkatan BPP. Ridha Yasser, Asisten Deputi Energi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, menekankan pentingnya CCS dalam mengurangi emisi karbon global. “Pemerintah terus berupaya menyediakan regulasi menyeluruh untuk implementasi CCS. Ini penting untuk bersaing dalam skema karbon global,” ujarnya. Ketua Asosiasi Praktisi Hukum Migas dan EBT, Didi Setyadi, menekankan pentingnya memanfaatkan reservoir karbon dalam negeri dan menyoroti tantangan ekonomi dari teknologi baru ini. "Kita harus mengadopsi teknologi baru, namun perlu dipertimbangkan apakah biaya ini ekonomis dibandingkan harga jual listriknya," jelas Didi.
Baca Juga: Percepat Carbon Capture Storage, SKK Migas Tetapkan Standarisasi Pengukuran CO2 Nurlely Aman, Senior Executive Vice President Hukum, Kebijakan, dan Kepatuhan PT PLN (Persero), menyampaikan komitmen PLN untuk mendukung penerapan CCS di sektor ketenagalistrikan Indonesia, tetapi mengingatkan perlunya memperhatikan implikasi finansial bagi pihak yang bukan pengelola minyak dan gas. Menurutnya, monetisasi depleted well/reservoir harus dioptimalkan dan regulasi CCS harus ditempatkan dengan tepat, baik sebagai instrumen penurunan emisi atau tambahan pendapatan negara. FGD ini diharapkan mampu memberikan wawasan baru dan masukan berharga bagi pemerintah dalam menyusun regulasi yang mendukung pemanfaatan teknologi CCS untuk mendukung transisi energi di Indonesia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli