JAKARTA. Pemerintah telah meluncurkan naskah akademik rancangan perubahan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Pusat dan Daerah yang akan dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Naskah akademik yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Kementerian Dalam Negeri, dan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Program/UNDP) ini merekomendasikan pola dan/atau model pembagian urusan pemerintahan berdasarkan kapasitas masing-masing tingkat pemerintahan. Selain itu, usulan ini menempatkan beberapa sub-urusan agar bisa ditarik ke tingkat pemerintah yang lebih tinggi. Model pembagian urusan ini akan dimasukkan ke dalam batang tubuh RUU Pemerintah Daerah. Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah BAPPENAS, Max Hasudungan Pohan mengatakan, banyaknya ketimpangan selama pelaksanaan desentralisasi di Indonesia selama 13 tahun terakhir, revisi PP 38/2007 perlu dilakukan karena terdapat perubahan pembagian urusan pemerintahan di dalam draft revisi UU 32/2004 yang membagi urusan pemerintahan menjadi tiga yakni urusan absolut, urusan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Max menyatakan terdapat tumpang-tindih pembiayaan pembangunan melalui APBN, yakni dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan serta melalui APBD, yaitu dana transfer - Dana Alokasi Khusus antara pemerintah pusat dan daerah. Kriteria pembagian urusan juga dipandang terlalu berfokus hanya pada pelayanan publik, tanpa kejelasan format dan substansi pembagian urusan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini menyebabkan pemerintah pusat sendiri masih terkendala dengan banyaknya kementerian dan lembaga yang tidak patuh dengan peraturan pembagian urusan kewenangan terus berdalih bahwa mereka memiliki UU atau aturan masing-masing. Selain itu, pemerintah menilai pemaknaan dan pelaksanaan Otonomi Daerah saat ini terlanjur kebablasan, di mana daerah cenderung semena-mena, tidak kooperatif dan kurang menghormati pemerintah pusat. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Johan mengatakan melalui pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan pemekaran daerah, pemerintah pusat memberikan kewenangan yang terlalu luas bagi pemerintah daerah, padahal tidak semua aktor daerah terlatih dan kompeten mengembani urusan kewenangan tersebut. Terlebih lagi saat ini hampir semua orang berlomba-lomba menjadi pemimpin daerah dari artis sampai dalang. Djohermansyah menjelaskan hal ini makin mempersulit pemerintah pusat mengkoordinir 505 pemerintah kabupaten/kota sehingga banyak urusan yang kacau balau. "Oleh karena itu, urusan kewenangan yang bersifat krusial seperti sektor Ekologis (kehutanan, kelautan, pertambangan) dilimpahkan pada pemerintah provinsi," katanya. Djohermansyah juga mencontohkan bahwa bahkan dengan pemerintah provinsi yang dianggap lebih gampang koordinasinya, masih banyak masalah pelaksanaan pembagian urusan yang tidak optimal. Empat sektor tambahan Untuk menguji model pembagian urusan ini di luar tiga sektor yang sudah ada, UNDP melalui proyek Program Penguatan Tata Kelola Pemerintahan Provinsi (Provincial Governance Strengthening Program/PGSP), juga telah menyusun naskah akademik pembagian urusan pada empat sektor lainnya, yaitu sektor perhubungan, energi dan sumber daya mineral (ESDM), sosial, dan ketenagakerjaan. Berdasarkan PP Nomor 38/2007, pembagian urusan pada bidang ESDM yang sekarang sangat rumit dan sulit untuk dipahami karena dikelompokkan berdasarkan tugas, wewenang, fungsi manajemen, pengelolaan sumber daya, program bahkan berdasarkan kegiatan yang terdapat pada unit-unit kerja Kementerian. “Perlu adanya penyederhanaan pola pembagian urusan bidang energi dan sumber daya mineral,” ujar analis Kebijakan Publik UNDP, Iskhak Fatonie. Ia mengusulkan pola pembagian urusan pada bidang ESDM dikelompokkan hanya berdasarkan lima sub-urusan, yaitu geologi, mineral dan batubara, energi baru terbarukan dan konservasi energi, minyak dan gas bumi, dan ketenagalistrikan. Sub-urusan minyak dan gas bumi pemerintah pusat akan bertanggung jawab penuh tanpa melibatkan provinsi dan kabupaten/kota. Adapun untuk empat sub-urusan lainnya, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota akan berbagi. “Pembagian harus menjamin kejelasan batasan urusan yang menjadi kewenangan setiap susunan pemerintahan sehingga tidak terjadi saling lempar tanggung jawab atau terjadinya tumpang tindih kewenangan.” jelas Iskhak. PP 38/2007 membagi Pemerintah Pusat untuk mengurusi urusan Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal, dan Agama. Sedangkan Pemerintah Daerah mengurusi urusan konkuren sebanyak 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Aturan urusan pemerintah dan pemda akan direvisi
JAKARTA. Pemerintah telah meluncurkan naskah akademik rancangan perubahan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Pusat dan Daerah yang akan dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Naskah akademik yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Kementerian Dalam Negeri, dan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Program/UNDP) ini merekomendasikan pola dan/atau model pembagian urusan pemerintahan berdasarkan kapasitas masing-masing tingkat pemerintahan. Selain itu, usulan ini menempatkan beberapa sub-urusan agar bisa ditarik ke tingkat pemerintah yang lebih tinggi. Model pembagian urusan ini akan dimasukkan ke dalam batang tubuh RUU Pemerintah Daerah. Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah BAPPENAS, Max Hasudungan Pohan mengatakan, banyaknya ketimpangan selama pelaksanaan desentralisasi di Indonesia selama 13 tahun terakhir, revisi PP 38/2007 perlu dilakukan karena terdapat perubahan pembagian urusan pemerintahan di dalam draft revisi UU 32/2004 yang membagi urusan pemerintahan menjadi tiga yakni urusan absolut, urusan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Max menyatakan terdapat tumpang-tindih pembiayaan pembangunan melalui APBN, yakni dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan serta melalui APBD, yaitu dana transfer - Dana Alokasi Khusus antara pemerintah pusat dan daerah. Kriteria pembagian urusan juga dipandang terlalu berfokus hanya pada pelayanan publik, tanpa kejelasan format dan substansi pembagian urusan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini menyebabkan pemerintah pusat sendiri masih terkendala dengan banyaknya kementerian dan lembaga yang tidak patuh dengan peraturan pembagian urusan kewenangan terus berdalih bahwa mereka memiliki UU atau aturan masing-masing. Selain itu, pemerintah menilai pemaknaan dan pelaksanaan Otonomi Daerah saat ini terlanjur kebablasan, di mana daerah cenderung semena-mena, tidak kooperatif dan kurang menghormati pemerintah pusat. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Johan mengatakan melalui pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan pemekaran daerah, pemerintah pusat memberikan kewenangan yang terlalu luas bagi pemerintah daerah, padahal tidak semua aktor daerah terlatih dan kompeten mengembani urusan kewenangan tersebut. Terlebih lagi saat ini hampir semua orang berlomba-lomba menjadi pemimpin daerah dari artis sampai dalang. Djohermansyah menjelaskan hal ini makin mempersulit pemerintah pusat mengkoordinir 505 pemerintah kabupaten/kota sehingga banyak urusan yang kacau balau. "Oleh karena itu, urusan kewenangan yang bersifat krusial seperti sektor Ekologis (kehutanan, kelautan, pertambangan) dilimpahkan pada pemerintah provinsi," katanya. Djohermansyah juga mencontohkan bahwa bahkan dengan pemerintah provinsi yang dianggap lebih gampang koordinasinya, masih banyak masalah pelaksanaan pembagian urusan yang tidak optimal. Empat sektor tambahan Untuk menguji model pembagian urusan ini di luar tiga sektor yang sudah ada, UNDP melalui proyek Program Penguatan Tata Kelola Pemerintahan Provinsi (Provincial Governance Strengthening Program/PGSP), juga telah menyusun naskah akademik pembagian urusan pada empat sektor lainnya, yaitu sektor perhubungan, energi dan sumber daya mineral (ESDM), sosial, dan ketenagakerjaan. Berdasarkan PP Nomor 38/2007, pembagian urusan pada bidang ESDM yang sekarang sangat rumit dan sulit untuk dipahami karena dikelompokkan berdasarkan tugas, wewenang, fungsi manajemen, pengelolaan sumber daya, program bahkan berdasarkan kegiatan yang terdapat pada unit-unit kerja Kementerian. “Perlu adanya penyederhanaan pola pembagian urusan bidang energi dan sumber daya mineral,” ujar analis Kebijakan Publik UNDP, Iskhak Fatonie. Ia mengusulkan pola pembagian urusan pada bidang ESDM dikelompokkan hanya berdasarkan lima sub-urusan, yaitu geologi, mineral dan batubara, energi baru terbarukan dan konservasi energi, minyak dan gas bumi, dan ketenagalistrikan. Sub-urusan minyak dan gas bumi pemerintah pusat akan bertanggung jawab penuh tanpa melibatkan provinsi dan kabupaten/kota. Adapun untuk empat sub-urusan lainnya, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota akan berbagi. “Pembagian harus menjamin kejelasan batasan urusan yang menjadi kewenangan setiap susunan pemerintahan sehingga tidak terjadi saling lempar tanggung jawab atau terjadinya tumpang tindih kewenangan.” jelas Iskhak. PP 38/2007 membagi Pemerintah Pusat untuk mengurusi urusan Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal, dan Agama. Sedangkan Pemerintah Daerah mengurusi urusan konkuren sebanyak 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News