Audit BPK soroti inkonsistensi pajak



JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyelesaikan audit Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2011. Seperti tahun sebelumnya, BPK tetap memberikan opini wajar dengan pengecualian atas LKPP itu.

Ketua BPK, Hadi Poernomo, menjelaskan, setidaknya ada dua permasalahan yang menyebabkan BPK memberikan opini wajar dengan pengecualian. Pertama, BPK menganggap masih ada ketidaksesuaian LKPP dengan dengan standar akuntansi pemerintahan (SAP). Kedua, BPK melihat masih ada kelemahan sistem pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangan.

Mantan Direktur Jenderal Pajak ini mencontohkan lemahnya pengendalian intern, seperti inkonsistensi penggunaan tarif pajak dalam perhitungan pajak penghasilan minyak dan gas (PPh migas) dan perhitungan bagi hasil migas. "Akibatnya, pemerintah kehilangan penerimaan sebesar Rp 2,35 triliun selama tahun 2009 hingga November 2011," ujar Hadi, kemarin.


BPK juga menyoroti pengelolaan PPh migas yang tidak optimal, sehingga hak pemerintah atas PPh migas dan sanksi administrasi sebesar Rp 747,08 miliar belum bisa direalisasikan.

Kelemahan lain yang dicatat oleh BPK diantaranya tidak ada tindak lanjut atas hasil rekonsiliasi selisih kewajiban PPh migas, antara laporan gabungan satu wilayah kerja dengan laporan bulanan tahun 2009 dan 2010, sehingga ada kurang bayar PPh migas sebesar US$ 10.15 juta atau setara Rp 92,06 miliar belum ditagih sesuai peraturan perpajakan yang berlaku.

Dalam auditnya, BPK juga menyoroti belum ada pengawasan yang memadai terhadap kepatuhan kewajiban perpajakan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS). Akibatnya, pemerintah belum mengenakan dan menagih sanksi keterlambatan penyetoran PPh migas sebesar US$ 72.73 juta atau setara Rp 655 miliar sesuai peraturan perpajakan yang berlaku.

Karena itu, BPK merekomendasikan pemerintah agar mengamandemen tax treaty terhadap KKKS yang menggunakan acuan tax treaty. Auditor Utama BPK, Syafri Adnan Baharuddin menambahkan, akibat terjadinya inkonsistensi ini, pihak yang paling diuntungkan ialah KKKS.

"Persoalannya ada juga indikasi kelemahan koordinasi internal pemerintah. Kenapa ada perjanjian yang tidak sama dengan tax treaty," kata Syafri.

Menurut BPK, saat ini setidaknya ada 30 KKKS diuntungkan dengan ketidapastian ini. Meskipun begitu, BPK menilai mereka tidak bisa dikategorikan melakukan korupsi atau penyelewengan. "Ini semata pemahaman yang keliru mengenai penetapan tarif pajak," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini