JAKARTA. Pemerintah Australia mengancam akan menghentikan aktivitas ekspor ternak hidup yang akan dikirim ke beberapa lokasi pemotongan hewan di Indonesia yang dianggap tidak memenuhi standar-standar pemotongan hewan internasional.Seperti dikuti Bloomberg, Menteri Pertanian Australia Joe Ludwig mengatakan, penghentian ekspor ternak hidup itu dilakukan karena beberapa bukti menyatakan bahwa ternak-ternak itu dianiaya sebelum dipotong. Sekadar informasi, selama ini sekitar 80% ekspor ternak hidup Australia dikirim ke Indonesia dengan nilai ekspor sekitar A$ 300 juta per tahun. Beberapa pihak seperti The Australia Greens telah meminta pemerintah untuk melarang ekspor ternak hidup ke Indonesia akibat kejadian ini. Ludwig pun telah meminta jajarannya untuk mempertimbangkan melarang ekspor beberapa fasilitas terkait hal ini ke Indonesia. Asnawi, Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) berpendapat, penghentian ekspor ternak hidup terutama sapi oleh Australia ini bermuatan politis. Penyebabnya, pada tahun ini pemerintah Indonesia menurunkan kuota impor sapi menjadi 400.000 ekor saja. Padahal, pada tahun 2009, kuota impor sapi Indonesia masih 750.000 ekor. Tidak hanya itu, penurunan kuota itu juga diiringi dengan pengetatan jenis sapi yang harus diimpor. Indonesia hanya mengizinkan impor sapi bakalan alias sapi yang harus digemukkan dulu. "Saya menduga penghentian ekspor yang dilakukan Australia untuk menekan pemerintah agar memperlunak kebijakan impornya," jelas Asnawi kepada KONTAN.Asnawi menjelaskan, penghentian itu agak rancu karena Australia melihat teknik pemotongan di Rumah Pemotongan Hewan (RTH) di Indonesia hanya berdasarkan kacamata standarnya sendiri. Padahal, Indonesia memiliki standar berbeda dengan Australia. Standar pemotongan yang dianut Australia adalah sapi digiring pada jalur pemotongan, kemudian satu persatu ditekan oleh alat tertentu sehingga tidak bisa bergerak. Setelah itu, sapi ditembak bius di kepalanya, baru kemudian disembelih. "Efeknya sapi tidak meronta-meronta sebelum dan sesudah disembelih," jelas Asnawi.Standar di Indonesia tidak seperti itu, karena menggunakan standar penyembelihan Islam. Sapi yang hendak dipotong biasanya diikat oleh tambang, kemudian ditidurkan, baru disembelih. Asnawi menduga teknik seperti ini dipandang sebagai penyiksaan terhadap hewan oleh pemerintah Australia. "Jelas tidak tepat, karena standar Indonesia dan Australia itu berbeda," tandas Asnawi.Adapun Wakil Menteri Pertanian Bayu Krishnamurti mengakui, selama ini sebagian besar Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang ada di Indonesia memang belum modern. Bayu mengatakan, di Indonesia ada sekitar 700 RPH. Dari jumlah itu, yang memiliki fasilitas penyembelihan lengkap hanya sekitar 60 RPH, sedangkan yang medium sekitar 230 RPH. "Jadi dari 700 RPH itu, kurang dari 300 yang memiliki fasilitas cukup untuk menerapkan ketentuan tentang persyaratan pemotngan hewan," ujarnya Selasa (31/5).Meski begitu, ia bilang masalah animal wellfare ini sebenarnya sesuatu yang diperjuangkan di Indonesia. Buktinya, kata Batu saat ini sudah ada sekitar 112 RPH yang sudah dilengkapi dengan restrain box untuk menempatkan sapi sebelum dipotong. Hanya saja, karena tingkat ekonomi di Indonesia masih lebih rendah ketimbang Australia makanya pertumbuhan RPH yang memiliki fasilitas lengkap juga masih tersendat.Hingga saat ini, Bayu bilang, baru ada sekitar 11 RPH yang menggunakan stunning gun alias metode pembiusan hewan sebelum dipotong seperti yang disyaratkan Australia. "Kita akan komunikasi intensif dengan pemerintah Australia mengenai ini dan kita bisa tunjukkan kemajuan kita," kata Bayu.Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Prabowo Respatiyo Caturroso juga mengakui, selama ini memang masih banyak rumah potong hewan (RPH) di Indonesia yang masih banyak yang tradisional. "Ini efeknya bagus karena bsia memacu peternak lokal untuk meningkatkan produksi sapi," katanya Selasa (31/5).Asal tahu saja, tahun ini pemerintah menetapkan kuota impor sapi bakalan sekitar 600.000 ekor. Jumlah ini naik ketimbang tahun 2010 lalu yang sebesar 500.000 ekor. "Dari jumlah itu, sebagian besar memang diimpor dari Australia," kata Prabowo.Namun bagaimanapun juga, Asnawi memperkirakan dihentikannya ekspor sapi oleh Australia bakal mengerek harga daging hingga Rp 70.000 per kilogram (kg) pada Juni mendatang. Harga ini bakal terus meroket memasuki bulan Ramadan yang jatuh Juli nanti. Menurutnya, harga daging sapi di Jabodetabek pada H-1 awal Ramadan tahun lalu sebesar Rp 65.000-Rp 70.000 per kg.
Australia ancam hentikan ekspor, harga daging sapi bisa di atas Rp 70.000 per kg
JAKARTA. Pemerintah Australia mengancam akan menghentikan aktivitas ekspor ternak hidup yang akan dikirim ke beberapa lokasi pemotongan hewan di Indonesia yang dianggap tidak memenuhi standar-standar pemotongan hewan internasional.Seperti dikuti Bloomberg, Menteri Pertanian Australia Joe Ludwig mengatakan, penghentian ekspor ternak hidup itu dilakukan karena beberapa bukti menyatakan bahwa ternak-ternak itu dianiaya sebelum dipotong. Sekadar informasi, selama ini sekitar 80% ekspor ternak hidup Australia dikirim ke Indonesia dengan nilai ekspor sekitar A$ 300 juta per tahun. Beberapa pihak seperti The Australia Greens telah meminta pemerintah untuk melarang ekspor ternak hidup ke Indonesia akibat kejadian ini. Ludwig pun telah meminta jajarannya untuk mempertimbangkan melarang ekspor beberapa fasilitas terkait hal ini ke Indonesia. Asnawi, Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) berpendapat, penghentian ekspor ternak hidup terutama sapi oleh Australia ini bermuatan politis. Penyebabnya, pada tahun ini pemerintah Indonesia menurunkan kuota impor sapi menjadi 400.000 ekor saja. Padahal, pada tahun 2009, kuota impor sapi Indonesia masih 750.000 ekor. Tidak hanya itu, penurunan kuota itu juga diiringi dengan pengetatan jenis sapi yang harus diimpor. Indonesia hanya mengizinkan impor sapi bakalan alias sapi yang harus digemukkan dulu. "Saya menduga penghentian ekspor yang dilakukan Australia untuk menekan pemerintah agar memperlunak kebijakan impornya," jelas Asnawi kepada KONTAN.Asnawi menjelaskan, penghentian itu agak rancu karena Australia melihat teknik pemotongan di Rumah Pemotongan Hewan (RTH) di Indonesia hanya berdasarkan kacamata standarnya sendiri. Padahal, Indonesia memiliki standar berbeda dengan Australia. Standar pemotongan yang dianut Australia adalah sapi digiring pada jalur pemotongan, kemudian satu persatu ditekan oleh alat tertentu sehingga tidak bisa bergerak. Setelah itu, sapi ditembak bius di kepalanya, baru kemudian disembelih. "Efeknya sapi tidak meronta-meronta sebelum dan sesudah disembelih," jelas Asnawi.Standar di Indonesia tidak seperti itu, karena menggunakan standar penyembelihan Islam. Sapi yang hendak dipotong biasanya diikat oleh tambang, kemudian ditidurkan, baru disembelih. Asnawi menduga teknik seperti ini dipandang sebagai penyiksaan terhadap hewan oleh pemerintah Australia. "Jelas tidak tepat, karena standar Indonesia dan Australia itu berbeda," tandas Asnawi.Adapun Wakil Menteri Pertanian Bayu Krishnamurti mengakui, selama ini sebagian besar Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang ada di Indonesia memang belum modern. Bayu mengatakan, di Indonesia ada sekitar 700 RPH. Dari jumlah itu, yang memiliki fasilitas penyembelihan lengkap hanya sekitar 60 RPH, sedangkan yang medium sekitar 230 RPH. "Jadi dari 700 RPH itu, kurang dari 300 yang memiliki fasilitas cukup untuk menerapkan ketentuan tentang persyaratan pemotngan hewan," ujarnya Selasa (31/5).Meski begitu, ia bilang masalah animal wellfare ini sebenarnya sesuatu yang diperjuangkan di Indonesia. Buktinya, kata Batu saat ini sudah ada sekitar 112 RPH yang sudah dilengkapi dengan restrain box untuk menempatkan sapi sebelum dipotong. Hanya saja, karena tingkat ekonomi di Indonesia masih lebih rendah ketimbang Australia makanya pertumbuhan RPH yang memiliki fasilitas lengkap juga masih tersendat.Hingga saat ini, Bayu bilang, baru ada sekitar 11 RPH yang menggunakan stunning gun alias metode pembiusan hewan sebelum dipotong seperti yang disyaratkan Australia. "Kita akan komunikasi intensif dengan pemerintah Australia mengenai ini dan kita bisa tunjukkan kemajuan kita," kata Bayu.Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Prabowo Respatiyo Caturroso juga mengakui, selama ini memang masih banyak rumah potong hewan (RPH) di Indonesia yang masih banyak yang tradisional. "Ini efeknya bagus karena bsia memacu peternak lokal untuk meningkatkan produksi sapi," katanya Selasa (31/5).Asal tahu saja, tahun ini pemerintah menetapkan kuota impor sapi bakalan sekitar 600.000 ekor. Jumlah ini naik ketimbang tahun 2010 lalu yang sebesar 500.000 ekor. "Dari jumlah itu, sebagian besar memang diimpor dari Australia," kata Prabowo.Namun bagaimanapun juga, Asnawi memperkirakan dihentikannya ekspor sapi oleh Australia bakal mengerek harga daging hingga Rp 70.000 per kilogram (kg) pada Juni mendatang. Harga ini bakal terus meroket memasuki bulan Ramadan yang jatuh Juli nanti. Menurutnya, harga daging sapi di Jabodetabek pada H-1 awal Ramadan tahun lalu sebesar Rp 65.000-Rp 70.000 per kg.