Australia Membentuk Badan Khusus untuk Memantau Risiko AI



KONTAN.CO.ID - Australia berencana membentuk badan penasihat khusus yang akan bertugas untuk memitigasi risiko penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

Melansir Reuters,  Menteri Ilmu Pengetahuan dan Industri Australia, Ed Husic, mengatakan bahwa AI diperkirakan akan menumbuhkan perekonomian, namun penggunaannya dalam bisnis tidak merata.

"Ada juga masalah kepercayaan seputar teknologi itu sendiri. Rendahnya kepercayaan menjadi penghambat penggunaan teknologi dan itu adalah sesuatu yang harus kita hadapi," kata Husic pada hari Rabu (17/1).


Pemerintah Australia juga akan menjalin kerja sama dengan badan-badan industri untuk memperkenalkan serangkaian pedoman terkait penggunaan AI, termasuk mendorong perusahaan teknologi untuk memberi label pada konten yang dihasilkan oleh AI.

Baca Juga: Salip Apple, Microsoft Jadi Perusahaan dengan Kapitalisasi Pasar Terbesar di Dunia

Australia sebenarnya telah membentuk Komisioner eSafety pertama di dunia pada tahun 2015, namun tertinggal dibandingkan negara lain dalam regulasi AI.

Kabarnya, pedoman awal ini masih akan bersifat sukarela, berbeda dengan aturan AI di Uni Eropa yang sifatnya wajib bagi seluruh perusahaan teknologi.

Pemerintah Australia mengatakan, mereka ingin membedakan antara penggunaan AI “berisiko rendah” seperti memfilter email spam dan “berisiko tinggi” seperti pembuatan konten yang dimanipulasi seperti deep fakes.

Baca Juga: Elon Musk Ingin 25% Saham Tesla Agar Leluasa Garap AI

AI: Bermanfaat dan Berbahaya

Dana Moneter Internasional (IMF) melihat bahwa peran AI menjadi semakin besar di negara maju. Situasi ini bisa membantu pekerjaan tapi juga mampu menutup lapangan pekerjaan.

Direktur pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, mengatakan bahwa 60% sektor pekerjaan di negara maju dan beberapa berkembang kini mulai disentuh AI. Persentasenya juga mulai terlihat besar di negara-negara berpenghasilan rendah.

Negara-negara maju dan beberapa negara berkembang akan terkena dampak sebesar 60% dari pekerjaan mereka, dan 40% di negara-negara berkembang, 26% di negara-negara berpendapatan rendah," kata Georgieva, dikutip The Straits Times.

Georgieva menambahkan, laporan yang baru terbit pada 15 Januari 2024 itu juga mencatat bahwa secara keseluruhan, hampir 40% lapangan kerja global mulai diambil alih oleh AI.

Baca Juga: IMF: Kecerdasan Buatan (AI) Sangat Membantu, Tapi Juga Cukup Menakutkan

Laporan IMF itu juga menunjukkan bahwa setengah dari pekerjaan yang terkena dampak AI akan terkena dampak negatif, sementara sisanya akan mendapatkan manfaat dari peningkatan produktivitas yang disebabkan oleh AI.

"Pekerjaan Anda mungkin hilang seutuhnya, itu tidak bagus. Kecerdasan buatan (juga) dapat meningkatkan pekerjaan Anda, sehingga Anda sebenarnya akan lebih produktif dan tingkat pendapatan Anda mungkin meningkat," kata  Georgieva.

Kondisi ini dinilai dapat dapat memperburuk kesenjangan digital dan kesenjangan pendapatan antar negara. IMF menambahkan, pekerja yang lebih tua cenderung lebih rentan terhadap perubahan yang disebabkan oleh AI.