KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjadikan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagai aset utama, kinerja reksadana reksadana Avrist Sukuk Income Fund berhasil berkinerja lebih baik dari rata-rata reksadana pendapatan tetap. Reksadana yang meluncur 28 September 2016 ini dikelola oleh Avrist Asset Management. Berdasarkan
fund fact sheet per Desember 2018, reksadana ini memegang efek seperti seri obligasi PBS006, PBS011, PBS016, dan SR009.
Head of Investment Avrist Asset Management, Farash Farich mengatakan, reksadana ini mayoritas memegang aset SBSN dan tidak memilih sukuk korporasi karena tujuan produk ini dibuat juga terkait untuk membantu pemenuhan kebutuhan investasi minimun di Surat Berharga Negara untuk asuransi dan dana pensiun syariah.
Selain itu dari sisi kinerja SBSN baik seri PBS maupun sukuk ritel memiliki risiko likuiditas yang lebih rendah sehingga memudahkan MI untuk menjaga kinerja reksadana meski ada
subscription dan
redemption investor yang dilakukan cukup aktif. Dari segi
yield SBSN memang lebih rendah dibandingkan sukuk korporasi. Namun, Farash mengatakan kelebihan SBSN selain dari sisi likuiditas, ketika pasar
rally umumnya probabilitas lebih besar untuk mendapatkan
capital gain akan lebih tinggi. "Di samping itu risiko kredit lebih rendah karena emitennya pemerintah Indonesia," kata Farash, Senin (28/1). Senada,
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan, pasar SBSN tidak sama tingkat likuiditasnya seperti pasar obligasi nonsyariah. Sehingga, tingkat volatilitas harga SBSN juga lebih rendah. Di sisi lain SBSN memiliki
yield yang lebih tinggi dari obligasi konvensional sehingga dampak ke kinerja reksadana ini bisa lebih terasa. Wawan mengatakan memiliki reksadana pendapatan tetap yang berbasis SBSN bisa dijadikan sebagai diversifikasi instrumen investasi yang menarik. Apalagi, reksadana ini juga memiliki fasilitas unik, yaitu pembagian hasil investasi secara rutin tiap bulan kepada investornya melalui pembagian dividen. "Investor bisa membukukan realisasi keuntungan tanpa melakukan
redemption apalagi saat
market turun," kata Farash. Per Desember 2018, aset dalam reksadana ini menghasilkan kinerja -5,92%. Tetapi reksadana ini berhasil membagian dividen sebear 6,01%. Sehingga, total
return reksadana ini 0,09% lebih baik dibanding rata-rata kinerja reksadana pendapatan tetap di sepanjang tahun lalu yang -2%. Dengan asumsi peningkatan
yield di AS dan dollar AS yang terbatas, Farash memproyeksikan kinerja reksadana ini bisa lebih baik dari tahun lalu. "Paling tidak reksadana pendapatan tetap dapat memberikan
gross return mirip dengan
yield underlying SBSN-nya sekitar 6,5% hingga 7% bersihnya," kata Farash. Selain itu, reksadana pendapatan tetap juga mendapat sentimen positif dari naiknya minat investor asing terhadap
emerging market karena indeks JP Morgan Emerging Markets Bond Indeks Spread mulai menyempit. Indeks ini mengukur
spread antara yield SUN di beberapa negara berkembang dibandingkan yield US Treasury.
Spread saat ini mencapai 388, dibandinkan akhir 2018 yang berada di level 430 dan rata-rata satu tahun terakhir berada di level 365. Sepanjang tahun lalu
inflow asing ke pasar SUN mencapai Rp 11 triliun. Wawan memproyeksikan dengan kemungkinan kenaikan suku bunga yang lebih terbatas di tahun ini, kinerja reksadana pendapatan tetap bisa tumbuh 5%-6%. Avrist Asset Management mengelola dana Rp 3,3 triliun per akhir Desember 2018. Farash memproyeksikan target dana kelolaan di tahun ini mencapai Rp 5,5 triliun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati