KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Garuda Indonesia Tbk (
GIAA) terus menekan kerugian. Hingga semester I-2018, Garuda mencatatkan kerugian US$ 114 juta, menyusut 59,83% dari semester I-2017 senilai US$ 283,8 juta. Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala N Mansury menjelaskan, kerugian menurun lantaran Gardua mampu meningkatkan pendapatan dan efisiensi. Selama enam bulan pertama tahun ini, pendapatan GIAA mencapai US$ 1,99 miliat, tumbuh 5,9% dibandingkan semester I-2017 senilai US$ 1,88 miliar. Sementara pos pengeluaran hanya naik tipis 0,3% menjadi US$ 2,1 miliar. “Di saat yang sama pengeluaran untuk avtur naik hingga 12% secara
year on year,” ungkap Pahala, Senin (30/7).
Pada semester pertama tahun ini, beban avtur berkontribusi sebesar 30% dari total beban perusahaan atau sebesar US$ 639,7 juta. Tahun lalu, beban avtur sebesar US$ 571,1 juta atau 27% dari total pengeluaran Garuda. Oleh sebab itu, maskapai penerbangan pelat merah ini terus melakukan efisiensi dengan mengurangi rute-rute yang berdampak negatif terhadap keuangan. Pahala menyebutkan, dari 22 rute yang berkontribusi negatif di semester I-2017, kini dipangkas dan tinggal 11 rute yang beroperasi. Dari sisi operasional, Garuda Indonesia mencatatkan perbaikan. Jumlah penumpang Grup Garuda Indonesia termasuk Citilink di semester I-2018 naik 8,3% dari 17,2 juta di semester I-2017 menjadi 18,7 juta di semester I-2018. Cuma, penumpang Garuda tidak bertumbuh. Beruntung, GIAA masih terdorong pertumbuhan penumpang Citilink yang naik 25,6% dari 5,6 juta menjadi 7 juta. Dari tingkat keterisian kursi pun masih disumbangkan Citilink yang meningkat dari 77,1% menjadi 80%. Sementara keterisian kursi Garuda Indonesia malah turun dari 72,5% menjadi 70,9%. Negosiasi utang Sejatinya, kenaikan beban avtur memberikan tekanan berat bagi bisnis Garuda Indonesia. Maklumlah, pengeluaran untuk bahan bakar pesawat ini terus membengkak. Alhasil, beban avtur memakan sekitar 30% dari total pengeluaran selama semester I-2018. Pahala pun agak pesimistis dengan target awal Garuda yang bisa meraih laba US$ 10 juta pada tahun ini. “Tantangan utamanya,
fuel. Beban
fuel yang meningkat signifikan juga akan berpengaruh, apakah bisa
break even di tahun ini atau tidak,” keluh dia. Meski demikian, Pahala bilang, bakal terus mengejar target tersebut. Strateginya adalah memaksimalkan pendapatan di luar penumpang, yakni dari bisnis kargo dan lainnya. Untuk mengimbangi pengeluaran yang membengkak akibat beban avtur, Garuda Indonesia bakal melakukan negosiasi ulang dengan produsen pesawat. Tujuannya, untuk memperpanjang masa kontrak agar biaya sewa per tahun menjadi turun. Misalnya, dari sebelumnya sewa 10 tahun menjadi 12 tahun.
Adapun untuk menambal utang jatuh tempo tahun ini, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Helmi Imam Satriyono menambahkan, GIAA mengincar pinjaman US$ 500 juta. “US$ 500 juta itu berasal dari pinjaman sindikasi dan pinjaman bilateral,” ungkap dia. Saat ini utang jangka pendek yang jatuh tempo di tahun 2018 mencapai 65% dari total pinjaman GIAA. Helmi menuturkan, selain
refinancing, Garuda melakukan negosiasi untuk memperpanjang periode utang jatuh tempo. Dari sisi efisiensi keuangan, GIAA akan meningkatkan level lindung nilai ke 50% dari sebelumnya 20% untuk antisipasi pelemahan rupiah terhadap dollar AS. “Di paruh pertama, kami dapat penghematan yang cukup besar (dari lindung nilai) US$ 35 juta. Ke depan, akan terus kami monitor,” tukas Helmi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia