Awas, ada tawar menawar ekspor ore



JAKARTA. Pelbagai cara dipakai pemerintah untuk meloloskan ekspor mineral mentah atau ore. Salah satu upaya ini tampak dari  undangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ke pengusaha tambang. Mulai Jumat, 3 Januari 2014, Kementerian ESDM akan memanggil satu per satu pengusaha mineral untuk menentukan ulang kriteria produk yang bisa diekspor.

Langkah ini terkait rencana Kementerian ESDM merevisi Peraturan Menteri ESDM No. 20/ 2013 tentang Peningkatan  Nilai Tambah Mineral.   

Seperti yang ditulis KONTAN 30 Desember 2013, revisi ini dilakukan lantaran penambang besar Freeport dan Newmont minta ekspor ore tetap dibolehkan untuk pengusaha yang memiliki komitmen membangun smelter.


Belakangan, lobi ini juga diikuti pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang  juga minta penurunan kadar minimum ekspor.

Dede Ida Suhendra, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM bilang, pemanggilan itu adalah upaya ESDM mendapatkan masukan dan mengakomodir keinginan pengusaha agar mineral mereka memenuhi kriteria bisa ekspor. "Semua komoditas akan kami lihat kembali. Setelah rapat internal, kami akan undang stake holders, baik pengusaha ataupun asosiasi," kata dia kepada KONTAN, Rabu (1/1).

Mendukung rencana pemerintah, Zulnahar Usman, Direktur Utama PT Bintan Alumina Indonesia (produsen bauksit) bilang, pemerintah harus ketat mengatur ekspor bijih mineral agar harga tak anjlok karena pasokan melimpah. "Khusus kontrak karya, tak boleh kadar minimumnya diturunkan. Mereka sudah cukup waktu untuk membangun smelter," ungkap dia.

Pengusaha bauksit minta kadar ekspor bauksit diturunkan menjadi 19% dari yang sekarang berlaku 98%. Pengusaha nikel juga minta kadar minimum nikel turun menjadi 2% dari batasan saat ini 6% dalam bentuk nickel pig iron. Sementara mangan minta kadar minimumnya  menjadi 40% dari 60% saat ini.

Cuma, Sihol Manullang, Sekretaris Jenderal Pengusaha Zirkonium Indonesia mengaku nyaman dengan kadar yang berlaku saat ini yakni 65%. Ia minta bea keluar dipangkas 0% dari 20%.

Mag Faisal Emzita, Member Board Of Director Asosiasi Nikel Indonesia berpendapat, perubahan kadar minimum membuktikan pemerintah tak  serius mengembangkan industri hilir. "Permen No. 7/ 2012 atau Permen No. 20/ 2013 diterbitkan buru-buru. Kini, mereka bingung menerapkan UU Minerba," katanya.

Padahal, saat ini, banyak perusahaan nikel telah terlanjur berkongsi dengan investor China membangun smelter. "Lantaran waktu yang tersisa mepet, penurunan kadar ini cuma jadi ajang tawar-menawar pemerintah dan pengusaha," kata Mag.                    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie