Awas, Ekonom Bilang Pelemahan Rupiah Bisa Membebani Anggaran Negara



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah mengalami tekanan, di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi. Dengan menilik data Bank Indonesia (BI), sampai dengan 20 Juli 2022, nilai tukar rupiah terdepresiasi 4,90% year to date (ytd) dibandingkan dengan level akhir tahun 2021. 

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual khawatir, pelemahan nilai tukar ini akan membebani keuangan negara. Menurut David, pelemahan rupiah akan berpengaruh pada membengkaknya belanja subsidi. 

“Pelemahan rupiah akan berpengaruh kepada belanja subsidi. Di sisi lain, kemarin pemerintah memutuskan untuk menambah nominal subsidi, belum lagi juga harga energi masih tinggi,” tutur David kepada Kontan.co.id, Senin (25/7). 


Di sisi lain, harga komoditas andalan Indonesia mulai menurun pada semester II-2022. Ini juga membuka peluang turunnya potensi penerimaan negara pada tahun ini. 

Baca Juga: Ekonom: Tekanan Nilai Tukar Rupiah Berdampak Mini terhadap Kinerja Ekspor

Yang menjadi kekhawatiran David adalah kondisi keuangan negara pada tahun 2023. Pemerintah pada tahun 2023 berencana untuk membawa defisit anggaran ke bawah 3% produk domestik bruto (PDB). 

Nah, bila pemerintah pada tahun depan masih mempertahankan subsidi dengan nilai fantastis, sementara penerimaan dari windfall komoditas mulai terbata. Dikhawatirkan, asa pemerintah untuk menekan defisit anggaran bisa menemui kendala. 

David berbicara tentang skenario terburuk. Bila kemudian penerimaan negara tak sebesar pada tahun 2021 dan 2022, kemudian pemerintah masih memberi subsidi jumbo, maka bisa saja pemerintah mengambil pilihan realokasi anggaran. 

Potongan anggaran, sangat mungkin dari anggaran belanja modal dan belanja barang. Bila ini terjadi, tentu akan berdampak pada kontraksi fiskal ke beberapa sektor, termasuk infrastruktur dan konstruksi, yang padahal memiliki dampak besar terhadap penyerapan tenaga kerja. 

Baca Juga: Pan Brothers (PBRX) Sebut Pelemahan Rupiah Untungkan Perseroan

“Jadi, di sinilah persoalannya. Karena pada semester I-2022, harga komoditas masih tinggi, sehingga penerimaan mendapatkan windfall komoditas. Namun, tahun depan khawatir ada normalisasi harga komoditas sehingga target defisit di bawah 3% PDB harus diupayakan,” tambahnya. 

Agar skenario buruk ini tidak terjadi, maka David menyarankan pemerintah untuk melakukan penyesuaian yang bijak terkait belanja. Ia juga berharap, harga energi dunia mulai menurun dan volatilitas rupiah tetap terjaga, sehingga akhirnya beban subsidi yang dipikul pemerintah bisa lebih ringan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi