Awas, harga pangan dunia semakin mahal



Jakarta. Tren kenaikan harga pangan dunia yang dirilis Food Agriculture Organization (FAO) ternyata tak mempengaruhi bisnis importir. Kenaikan ini masih dinilai wajar.

Harga pangan dunia semakin mahal. Itulah kesimpulan dari Food Price Index atau Indeks Harga Pangan yang dikeluarkan oleh Organisasi Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) belum lama ini.

Dari indeks yang dirilis FAO ini, kenaikan akan terjadi pada tiga komoditas pangan, yakni daging, susu, dan gula. Sedangkan, tren penurunan hanya terjadi pada komoditas serealia dan minyak nabati.


Indonesia memiliki kepentingan besar dari indeks harga pangan ini. Maklum, Indonesia adalah importir tetap seluruh komoditas ini, kecuali minyak nabati.

Untuk daging sapi misalnya, indeks harga FAO menyebutkan harga daging terus naik dari Januari-September 2016 naik sebesar 18,3 poin. Tren kenaikan ini kemungkinan bakal berlanjut hingga akhir tahun ini.

Data ini berpeluang menggoyang lagi pasar pangan Indonesia, utamanya akibat kenaikan harga daging  dan susu. Maklum, Indonesia masih tergantung pada daging impor dan susu.

Thomas Sembiring Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) mengatakan, tren kenaikan harga daging internasional tidak berdampak bagi importir daging sapi, terutama yang memasok ke hotel, restoran, dan katering (horeka). Mereka tak memasalahkan harga, melainkan kualitas daging.

"Sekitar 20% penduduk Indonesia adalah menengah atas. Umumnya yang menikmati daging sapi impor adalah mereka," katanya, Rabu (12/10).

Thomas bilang, siklus harga daging dunia memang cenderung naik di akhir tahun. Tren itu akan turun pada awal tahun berikutnya.  Siklus ini kemungkinan bakal terulang tahun ini.

Selama ini, Indonesia mengimpor daging sapi dari Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat (AS). Harga daging sapi yang masuk kategori indeks FAO ini hanya jenis prime cut dan tidak masuk kategori secondary cut dan jeroan yang saat ini juga tengah diimpor para importir.

Selain daging, komoditas pangan impor yang harganya naik adalah susu. Teguh Boediyana, Ketua Dewan Susu Indonesia mengakui telah terjadi kenaikan harga susu internasional dalam beberapa bulan terakhir. Namun, hal ini tidak berdampak pada bisnis para importir dan industri karena kenaikan harga susu tidak signifikan.

"Pengusaha susu olahan masih antusias, karena harga jual produk susu di dalam negeri masih tetap tinggi," katanya.

Meski harga jual tinggi, tapi industri tidak lantas memproduksi susu olahan secara melimpah untuk mendapatkan keuntungan. Ia justru bilang, industri memilih untuk memproduksi susu dalam jumlah yang wajar sesuai dengan kebutuhan.

Menurut Teguh, banyak faktor yang menyebabkan harga susu internasional tidak stabil, salah satunya adalah jumlah produksi susu dunia yang tidak menentu.

Sekedar informasi, 80% bahan baku produk susu olahan saat ini merupakan susu impor, sedangkan sisanya berasal dari susu dalam negeri. Susu impor ini didatangkan para importir dari beberapa negara produsen susu, seperti AS, Australia, Selandia Baru, Belgia, dan Kanada.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto