Awas, jangan terjebak pesona angka di atas kertas



JAKARTA. Perekonomian Indonesia sepanjang tahun ini masih tergolong digdaya di tengah kelesuan perekonomian global. Di saat banyak negara mengalami perlambatan ekonomi, negeri ini masih perkasa dan mencetak pertumbuhan ekonomi cukup tinggi.Tapi, alarm tanda bahaya mulai menyalak lantaran kita kembali kalah perang dagang. Dalam sepuluh bulan pertama tahun ini, neraca perdagangan Indonesia sudah empat kali mencetak defisit. Defisit terburuk terjadi pada Oktober lalu, yakni sebesar US$ 1,54 miliar. Tak cuma itu, di bulan yang sama, untuk pertama kalinya neraca perdagangan tahun berjalan 2012 mengalami defisit.Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama Januari–Oktober 2012, nilai ekspor menurun hingga 6,22% dibandingkan dengan periode yang sama di 2011. Sementara, nilai impor justru meningkat 9,35%. Tak pelak, neraca dagang Januari–Oktober 2012 menderita defisit sebesar US$ 516,1 juta.Meski bersikap waspada, pemerintah, tampaknya, tak terlalu khawatir dengan peningkatan nilai impor yang menjadi penyebab defisit neraca perdagangan. Sebab, Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan, mengatakan, kenaikan impor lebih banyak disebabkan oleh impor bahan baku dan barang modal. Impor ini sangat dibutuhkan oleh perusahaan yang tengah ekspansi membangun pabrik.Data BPS menunjukkan, hingga Oktober 2012, impor bahan baku meningkat 7,4%. Impor barang modal malah naik jauh lebih tinggi: sebesar 21,87%. Itu berarti, “Negara kita sudah bisa memproses produk di Tanah Air yang bisa dikonsumsi di dalam negeri,” ujar Gita.Tingginya impor barang modal memang tak lepas dari investasi yang meningkat pesat. Catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memperlihatkan, realisasi investasi Januari–September 2012 mencapai Rp 229,9 triliun. Angka ini naik 27% ketimbang periode yang sama pada 2011 lalu yang hanya Rp 181 triliun.Hebatnya, laju pertumbuhan investasi telah menjadi bahan bakar pendorong pertumbuhan ekonomi. Di kuartal ketiga lalu, investasi tumbuh 10,77%. Pertumbuhan investasi di kuartal III–2012 menjadi sumber pertumbuhan ekonomi sebesar 2,43% dari total pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,17% pada triwulan ketiga.Nantinya, Gita berharap, investasi di Indonesia tidak hanya sekadar memproduksi barang-barang yang bisa dikonsumsi di dalam negeri, tapi juga diekspor. Alhasil, neraca perdagangan akan kembali seimbang. Kalau investasi yang membutuhkan impor bahan baku dan barang modal terus mendapat dukungan, Indonesia bisa merekonfigurasi ekspor dalam dua tiga tahun ke depan.Menggantikan eksporPertumbuhan investasi yang tinggi tentu saja menjadi penolong di saat kinerja ekspor impor jeblok. Tak heran, meski tak sesuai ekspektasi, pertumbuhan ekonomi masih mampu bertengger di atas 6%. “Pembentukan modal tetap bruto kita sudah mencapai 32% dari produk domestik bruto, sehingga sangat menggenjot pertumbuhan ekonomi,” kata Gita.Chatib Basri, Kepala BKPM, lebih optimistis lagi. Ia yakin, peranan ekspor dalam pertumbuhan ekonomi yang terus melorot tahun ini bisa tergantikan oleh derasnya aliran investasi langsung, terutama dari luar negeri. “Investasi hingga akhir tahun bisa mengompensasi perlambatan ekspor,” imbuh dia.Menurut Anton Gunawan, Kepala Ekonom Bank Danamon, persentase perdagangan dalam pembentukan pertumbuhan ekonomi kita tidak besar. Karena itu, kalaupun kinerja ekspor jeblok, pengaruhnya ke pertumbuhan ekonomi kecil. Ia memperkirakan, selama pertumbuhan konsumsi masih cukup kuat, pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun nanti bisa mencapai 6,2%–6,3%.Ya, pertumbuhan ekonomi di 2012 tampaknya memang tak bakal mencapai target pemerintah sebesar 6,5%. Mahendra Siregar, Wakil Menteri Keuangan, juga pesimistis target itu bisa diraih. Namun, “Masih tetap di atas 6%,” prediksi Mahendra.David Sumual, ekonom BCA, juga memprediksikan, pertumbuhan ekonomi tahun ini berada di level 6,2%–6,3%. Tapi, kondisi eksternal dan juga defisit neraca dagang masih akan membayangi perekonomian Indonesia hingga akhir tahun.Sementara, tahun depan, David memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi masih bisa di atas 6%, yakni di kisaran 6,3%– 6,5%. Dan, konsumsi domestik di tahun ular air masih kuat. Begitu pula dengan investasi.Senada, Anton memperkirakan, pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa di level 6,3% yang masih ditopang oleh pertumbuhan konsumsi domestik dan investasi. “Impor barang modal masih akan cukup tinggi tahun besok,” paparnya.Laju impor barang modal nan cepat untuk ekspansi investasi domestik sejatinya wajar saja. Destry Damayanti, Kepala Ekonom Bank Mandiri, bilang, biasanya hal ini terjadi pada negara berkembang yang maju sangat pesat, namun belum didukung oleh industri hilir domestik yang memadai. Cuma, dalam jangka pendek, impor tinggi tak perlu dikhawatirkan.Tapi, dalam jangka menengah panjang, menurut Destry, kondisi ini sebetulnya berbahaya. Ketergantungan pada barang impor untuk memacu ekspansi investasi sejatinya tidak sehat. Pasalnya, hal ini bisa memicu inflasi dari sisi suplai.Ketergantungan imporLana Soelistianingsih, ekonom Samuel Sekuritas, menambahkan, impor bahan baku dan barang modal sebagian memang untuk kegiatan produktif. Namun, sebagian lagi sebetulnya masuk wilayah abu-abu. Sebab, impor beberapa komponen seringkali dimasukkan sebagai barang modal, walau sebetulnya tergolong konsumsi.Menurut Lana, dalam jangka panjang, defisit neraca perdagangan juga berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi. Soalnya, defisit neraca dagang bakal mengurangi pertumbuhan ekonomi. Saat itu terjadi, pengusaha akan melihat adanya perlambatan pertumbuhan. Masyarakat pun akan mengurangi konsumsi. Sehingga, pengusaha akan mengurangi produksi dan menunda ekspansinya.David juga melihat ketergantungan impor barang modal tidak bagus untuk industrialisasi dan penyerapan tenaga kerja jangka panjang. Apalagi, impor barang modal membutuhkan devisa yang cukup besar.Itu sebabnya, pemerintah harus memperbaiki struktur ekonomi ini. Pemerintah sebaiknya memberikan insentif atau stimulus bagi investor yang mau berinvestasi di sektor bahan baku dan barang modal.Segendang sepenarian, Destry menilai, pemerintah harus konsisten mendorong industri hilir. Industri domestik harus tumbuh. Lima tahun terakhir, industrialisasi di tanah air mandek. Orang beramai-ramai masuk ke komoditas ekspor yang lebih cepat menghasilkan uang dan berisiko kecil. Ekspor memang tembus hingga ratusan triliun rupiah. Tapi, pemerintah tak menyadari kualitas ekspor karena 60% ekspor merupakan ekspor komoditas. Alhasil, industri hilir selama ini tidak berkembang. Nah, “Ini yang salah,” kata Destry.Selain hilirisasi industri, pemerintah juga masih punya pekerjaan rumah untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur. Rantai logistik juga mesti diperbaiki. Tanpa kedua hal itu, investasi akan percuma. Barang produksi akan bertambah, namun tidak bisa didistribusikan. Malah yang akan terjadi ialah bottlenecking alias mampet.Di atas kertas, kinerja perekonomian Indonesia memang masih terlihat cemerlang. Tapi, landasan di bawah permukaan sejatinya perlu dicermati. Konsumsi yang kuat memang mendorong pertumbuhan sektor riil. Cuma, proses manufaktur harus tergantung impor lantaran tak tersedianya barang modal. Ini tentu mengkhawatirkan. “Sampai mana fundamental ekonomi bisa menopang konsumsi?” tanya Lana.Seperti juga inflasi, di atas kertas memang terjaga. BPS mencatat, laju inflasi year on year pada November 2012 sebesar 4,32%. Menurut Lana, inflasi yang terjaga rendah ini sejatinya artifisial karena didukung oleh subsidi bahan bakar minyak (BBM). Selain itu, inflasi juga tertolong oleh harga komoditas yang rendah.Destry meramal, inflasi tahun depan akan ada di kisaran 5% - 5,5%. Ini sudah memasukkan komponen kenaikan upah minimum provinsi yang rata-rata naik 20% plus kenaikan tarif listrik. Cuma, kalau tahun depan pemerintah mengerek harga BBM, inflasi bisa 7%.Harapannya tentu saja, inflasi tetap akan terjaga. Sehingga, daya beli masyarakat terus menguat dan konsumsi terus meningkat. Investasi pun akan terus bertambah dan ekonomi terus tumbuh. Namun lagi-lagi, derasnya impor jadi ancaman yang harus diwaspadai.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 11 - XVII, 2012 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Imanuel Alexander