Awas perlambatan ekonomi China



KONTAN.CO.ID - BEIJING. Perlambatan ekonomi China menjadi kekhawatiran di tahun 2018. CNBC melaporkan, faktor China sering disebut oleh sejumlah analis pasar papan atas dalam merumuskan profil risiko mereka, tahun depan.

Seperti diungkapkan David Woo, Head of Global Rates, FX and EM FI Strategy & Econ Research Bank of America yang menyatakan risiko puncak pertumbuhan ekonomi China kini tengah membuntuti ekonomi global. Dia justru merasa aneh, saat banyak pihak mengabaikan data-data negatif dari China yang mengejutkan dalam beberapa pekan terakhir.

Woo menilai, mungkin sampai tahap ini pasar masih menganggap hal itu sebagai hal yang bersifat sementara saja. Dan memang, reli indeks S&P 500 didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di seluruh dunia, termasuk China. Stabilitas China kini cukup terjaga seiring perhelatan Kongres Partai Komunis ke-19 pada Oktober 2017 lalu.


Setelah periode kongres tersebut selesai, China kembali fokus menangani persoalan utang di negaranya. Diperkirakan, China akan mengambil tindakan lebih tegas untuk mengontrol pertumbuhan utang.

Di sisi lain, Woo menegaskan, pihaknya khawatir China terkena dampak buruk dari reformasi pajak di Amerika Serikat (AS). Belum lagi tren kenaikan suku bunga acuan di Amerika oleh bank sentralnya atau The Federal Reserve (The Fed) dapat menyebabkan pelarian modal keluar dari China.Bila modal hengkang, sudah tentu berimbas pada penurunan nilai tukar yuan.

"Jika itu terjadi, Bank Sentral China kemungkinan akan memperketat likuiditas, dan pada gilirannya berimbas pada perlambatan pertumbuhan ekonomi mereka," tulis Woo dalam sebuah laporan beberapa waktu lalu, seperti dikutip CNBC, Jumat (29/12).

Sekedar mengingatkan, kemerosotan bursa saham global terjadi dengan begitu cepat saat China mendevaluasi mata uangnya pada Agustus 2015 silam. Hal tersebut berdampak pada penurunan terburuk indeks Dow Jones dan S&P 500 dalam setahun terahir pada saat itu.

Bom waktu utang

Pasca devaluasi mata uangnya, China berupaya membuktikan bahwa mereka dapat mengendalikan ekonominya. Tapi nyatanya, tingkat utang China terus menanjak hingga saat ini.Dana Moneter Internasional atawa International Monetary Fund (IMF) telah memperingatkan pada Oktober 2017 lalu bahwa aset perbankan China telah melonjak hingga 310% terhadap PDB, dibandingkan sebesar 240% dari PDB yang tercatat sampai akhir tahun 2012.

Gara-gara utang ini pula, pada September 2017, S&P Global Ratings menurunkan peringkat kredit jangka panjang China. Jauh sebelum S&P, Moody's pada Mei 2017 telah lebih dulu mengambil sikap dengan menggunting peringkat kredit jangka panjang China.

"Jika potensi default mulai terlihat, maka ekonomi akan semakin kacau saat default produk investasi terjadi," tulis UBS Wealth Management dalam proyeksi atau outlook tahun 2018.

Dalam beberapa bulan terakhir, tulis UBS, investor dengan waswas mengawasi lonjakan imbal hasil obligasi 10 tahun China sebagai indikasi perlambatan pertumbuhan ekonomi.David Folkerts Landau, Kepala Ekonom Deutsche Bank Research menilai, Pemerintah China kini lebih nyaman dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah disertai pengetatan kebijakan moneter.

Editor: Rizki Caturini