Awas, pinjol ilegal punya sejumlah modus baru untuk mencari mangsa



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gurihnya bisnis fintech lending di tanah air, membuat peer to peer (P2P) lending ilegal menjamur. Satgas Waspada Investasi (SWI) berhasil menemukan 1.026 entitas P2P lending ilegal sepanjang 2020.

Ketua SWI Tongam L Tobing membeberkan beberapa modus baru yang digunakan pinjaman online ilegal. Oknum P2P lending ilegal mengirimkan uang tanpa ada pengajuan pinjaman ke rekening orang yang sudah mengunduh aplikasi dan mengisi data diri serta nomor rekening.

“Kedua, pelaku fintech lending ilegal mengirimkan SMS kepada pihak-pihak tertentu yang berisi bahwa permohonan pengajuan pinjamannya telah disetujui disertai dengan link unduh aplikasi. Padahal yang bersangkutan belum pernah mengunduh aplikasinya dan mengajukan,” ujar Tongam kepada Kontan.co.id pada Rabu (27/1).


Baca Juga: Ini perbedaan equity crowdfunding dan security crowdfunding

Ketiga, beberapa oknum peminjam sengaja mencari fintech lending ilegal dengan membuat grup di media sosial yang berisi link unduhnya.

Tongam menyatakan penyebab utama P2P lending bandel muncul karena mudahnya bagi pelaku untuk membuat aplikasi, situs, ataupun web. Rendahnya tingkat literasi masyarakat dan kerap mengalami kesulitan keuangan turut memperparah keadaan. 

Hal ini membuat masyarakat tidak melakukan pengecekan legalitas P2P lending tempat meminjam. Sisi lain, kebutuhan uang membuat kecenderungan tidak dipikir secara matang. Juga ada yang terjebak pada satu pinjaman lalu mencari pinjaman lain alias gali lobang tutup lobang.

“Beberapa situs atau aplikasi fintech P2P lending dibuat oleh pihak yang sama. Misalnya aplikasi sebelumnya sudah diblokir. Yang bersangkutan membuat aplikasi baru dengan nama berbeda dan kemudian meneror masyarakat dengan menyampaikan bahwa aplikasi yang lama telah berubah menjadi aplikasi baru tersebut,” katanya.

Baca Juga: P2P lending KawanCicil sudah salurkan pinjaman senilai Rp 175,91 miliar

Ia melanjutkan, asal pelaku masih belum diketahui secara pasti. Namun SWI memperoleh informasi lokasi server yang digunakan pelaku berdasarkan pantauan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

“Sebanyak 22% server yang digunakan berada di Indonesia, 14% di Amerika Serikat, 8% di Singapura, dan 6% di Republik Rakyat Tiongkok,” tambah Tongam.

Semua fintech ilegal yang telah ditemukan itu, telah ditindak dengan pengajuan pemblokiran situs maupun aplikasi melalui Kominfo. Bahkan terdapat dua entitas yang masuk ke ranah hukum yakni PT Vcard Technology Indonesia (VLoan) yang ditangani Cyber Crime Bareskrim Polri. Juga PT Vega Data dan PT Barracuda Fintech yang ditangani Polres Metro Jakarta Utara

“Tentu penegakan hukum tetap membutuhkan peran masyarakat. Segera lapor kepada pihak yang berwajib dan tetap berkoordinasi dalam penanganannya agar proses penegakan hukum bisa berjalan dengan baik,” jelasnya.

Editor: Tendi Mahadi