JAKARTA. Para pengusaha di dalam negeri dan pemerintah harus siap menghadapi gelombang serbuan produk China. Pasalnya, setelah pasar Amerika Serikat (AS) dan Eropa melemah, Negeri Panda itu pasti akan mengincar Indonesia.Pelemahan perekonomian Amerika dan Eropa membuat dua benua tersebut melakukan efisiensi. Salah satu langkah yang mereka tempuh adalah dengan mengurangi impor dan menggenjot industri domestik. Kondisi ini akan membuat permintaan produk ke negara-negara Asia turun.Menteri Perdagangan Gita Wirjawan berpendapat, negara-negara seperti China yang selama ini mengandalkan pasar Amerika dan Eropa akan berusaha mencari pasar baru. Nah, karena sangat potensial, pasar Indonesia pasti akan menjadi incaran. "Karena kapasitas produksi mereka besar sekali dan Indonesia menjadi potensi besar bagi produsen-produsen besar tersebut masuk ke Indonesia," kata Gita, Jumat (30/11).Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi juga sependapat. Produksi China yang berlebih dan terus berjalan membutuhkan tempat untuk menjual produk tersebut. "Pasti, mereka akan membuang ke Indonesia, dan kualitas jelek atau bagus, kita makan semua," ujar Sofyan.Seperti yang terjadi saat ini, Sofyan menduga, pasar kita akan sangat mudah menerima barang-barang dari China itu. Sebab, mereka menawarkan harga yang kompetitif. "Mereka cuci gudang semua, kan? Coba lihat di Tanah Abang itu 60%-70% (produk) dari China," katanya.Jangan cuma berpikir tentang produk mainan barang-barang kelontong. China juga telah memproduksi Batik cetak (print) dan menjualnya dengan harga miring. Ini membuat para pengusaha dalam negeri kalah bersaing.Akhirnya, akibat maraknya barang-barang China murah itu, muncullah importir-improtir lokal. Motivasi mereka tak lain ada untung alias cuan. "Dia produksi sedikit, lalu sebagian besar impor agar masih bisa untung," jelas Sofyan. Bahkan, ekstremnya, tak sedikit produsen yang akhirnya memilih ganti profesi menjadi pedagang barang impor. Karena itu, Sofyan menyarankan pemerintah membuat penghalang (barrier). Misalnya, Bea dan Cukai harus mampu mencegah masuknya barang-barang illegal. Jika tidak, industri dalam negeri akan selalu kalah bersaing. "Bea dan cukai, kan ada di paling depan untuk menjaga," tegas Sofyan.Saran Sofyan ini masuk akal. Barang-barang selundupan itu membuat negara rugi miliaran rupiah. Sebagai contoh, baru-baru ini, Direktorat Bea dan Cukai menangkap barang-barang selundupan KM Kelud di Pelabuhan Tanjung Priok.Perkiraan Bea dan Cukai, nilai barang-barang tersebut sekitar Rp 500 miliar. "Jadi kerugiannya bisa sekitar Rp 50 miliar - Rp 100 miliar," ungkap Kepala Dirjen Bea dan Cukai Agung Kuswandono, Kamis (29/11).Namun, Gita memiliki pendapat sedikit berbeda. Menurutnya, alih-alih menghambat masuknya barang-barang dari luar negeri, lebih baik pemerintah mendukung industrialisasi di dalam negeri."Sekarang, sudah terlihat impor produk jadi tidak tinggi sedangkan kenaikan impor produk pembantu atau penolong itu lebih tinggi,"terang Gita. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, impor barang mentah per Agustus 2012 mencapai US$ 9.98 miliar, sedangkan impor barang konsumsi hanya US$ 939,90 juta.Pandangan Ekonom CSIS Yose Rizal Damuri lebih maju lagi. Menurutnya, seharusnya Indonesia sudah mulai melihat China sebagai potensi pasar. "Kenapa tidak kita yang menjadikan China sebagai pasar kita, karena China itu potensinya bisa lima kali lipat Indonesia," ungkap Yose.Namun, untuk mencapai hal itu, diperlukan perbaikan industri dalam negeri. Salah satu caranya adalah meningkatkan kualitas produk domestik. "Kita harus meningkatkan daya saing, jangan maunya dilindungi terus," tegas Yose.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Awas, produk China akan kian merajalela
JAKARTA. Para pengusaha di dalam negeri dan pemerintah harus siap menghadapi gelombang serbuan produk China. Pasalnya, setelah pasar Amerika Serikat (AS) dan Eropa melemah, Negeri Panda itu pasti akan mengincar Indonesia.Pelemahan perekonomian Amerika dan Eropa membuat dua benua tersebut melakukan efisiensi. Salah satu langkah yang mereka tempuh adalah dengan mengurangi impor dan menggenjot industri domestik. Kondisi ini akan membuat permintaan produk ke negara-negara Asia turun.Menteri Perdagangan Gita Wirjawan berpendapat, negara-negara seperti China yang selama ini mengandalkan pasar Amerika dan Eropa akan berusaha mencari pasar baru. Nah, karena sangat potensial, pasar Indonesia pasti akan menjadi incaran. "Karena kapasitas produksi mereka besar sekali dan Indonesia menjadi potensi besar bagi produsen-produsen besar tersebut masuk ke Indonesia," kata Gita, Jumat (30/11).Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi juga sependapat. Produksi China yang berlebih dan terus berjalan membutuhkan tempat untuk menjual produk tersebut. "Pasti, mereka akan membuang ke Indonesia, dan kualitas jelek atau bagus, kita makan semua," ujar Sofyan.Seperti yang terjadi saat ini, Sofyan menduga, pasar kita akan sangat mudah menerima barang-barang dari China itu. Sebab, mereka menawarkan harga yang kompetitif. "Mereka cuci gudang semua, kan? Coba lihat di Tanah Abang itu 60%-70% (produk) dari China," katanya.Jangan cuma berpikir tentang produk mainan barang-barang kelontong. China juga telah memproduksi Batik cetak (print) dan menjualnya dengan harga miring. Ini membuat para pengusaha dalam negeri kalah bersaing.Akhirnya, akibat maraknya barang-barang China murah itu, muncullah importir-improtir lokal. Motivasi mereka tak lain ada untung alias cuan. "Dia produksi sedikit, lalu sebagian besar impor agar masih bisa untung," jelas Sofyan. Bahkan, ekstremnya, tak sedikit produsen yang akhirnya memilih ganti profesi menjadi pedagang barang impor. Karena itu, Sofyan menyarankan pemerintah membuat penghalang (barrier). Misalnya, Bea dan Cukai harus mampu mencegah masuknya barang-barang illegal. Jika tidak, industri dalam negeri akan selalu kalah bersaing. "Bea dan cukai, kan ada di paling depan untuk menjaga," tegas Sofyan.Saran Sofyan ini masuk akal. Barang-barang selundupan itu membuat negara rugi miliaran rupiah. Sebagai contoh, baru-baru ini, Direktorat Bea dan Cukai menangkap barang-barang selundupan KM Kelud di Pelabuhan Tanjung Priok.Perkiraan Bea dan Cukai, nilai barang-barang tersebut sekitar Rp 500 miliar. "Jadi kerugiannya bisa sekitar Rp 50 miliar - Rp 100 miliar," ungkap Kepala Dirjen Bea dan Cukai Agung Kuswandono, Kamis (29/11).Namun, Gita memiliki pendapat sedikit berbeda. Menurutnya, alih-alih menghambat masuknya barang-barang dari luar negeri, lebih baik pemerintah mendukung industrialisasi di dalam negeri."Sekarang, sudah terlihat impor produk jadi tidak tinggi sedangkan kenaikan impor produk pembantu atau penolong itu lebih tinggi,"terang Gita. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, impor barang mentah per Agustus 2012 mencapai US$ 9.98 miliar, sedangkan impor barang konsumsi hanya US$ 939,90 juta.Pandangan Ekonom CSIS Yose Rizal Damuri lebih maju lagi. Menurutnya, seharusnya Indonesia sudah mulai melihat China sebagai potensi pasar. "Kenapa tidak kita yang menjadikan China sebagai pasar kita, karena China itu potensinya bisa lima kali lipat Indonesia," ungkap Yose.Namun, untuk mencapai hal itu, diperlukan perbaikan industri dalam negeri. Salah satu caranya adalah meningkatkan kualitas produk domestik. "Kita harus meningkatkan daya saing, jangan maunya dilindungi terus," tegas Yose.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News