Awas, rupiah masih bisa melemah



JAKARTA. Dua pekan terakhir nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) berada di kisaran Rp 12.900-Rp 13.100. Di banding kurs di awal tahun yang senilai Rp 12.472 per dollar AS, rupiah sudah melemah 3%-5%.

Pelaku usaha harus terus waspada, sebab gejolak rupiah belum berakhir. Bahkan, ada ancaman volatilitas rupiah tinggi di kuartal II-2015. Pasalnya, pada periode itu kebutuhan valuta asing semakin besar untuk membayar utang jatuh tempo serta repatriasi aset.

Di sisi lain, perekonomian Indonesia kian bergantung terhadap dana asing karena belum mampu membiayai ekonominya sendiri. Pada posisi akhir triwulan IV-2014, kewajiban pembiayaan luar negeri Indonesia naik 13,3% dibanding tahun 2013.


Data terbaru Bank Indonesia (BI) yang keluar akhir Maret 2015 menunjukkan, posisi Investasi Internasional (PII) Indonesia pada akhir 2014, net kewajiban US$ 419,8 miliar atau 47,2% dari PDB. Artinya, 47,2% PDB Indonesia tahun lalu dibiayai dana dari luar negeri, antara lain utang. Di akhir 2013 posisi PII US$ 370,5 miliar atau 40,5% PDB. Bila dibanding akhir triwulan III, posisi net kewajiban PII pada akhir triwulan IV pun naik 1,4%. Pada akhir triwulan III, posisi bersih PII adalah US$ 414,2 miliar atau 47% dari PDB.

Peningkatan net kewajiban ini lantaran Indonesia semakin gemar mencari utangan ke luar negeri. Seiring peningkatan kewajiban itu, terjadi pula peningkatan utang jatuh tempo. Hingga akhir Januari 2015 utang jatuh tempo kurang dari setahun mencapai US$ 57,81 miliar, tumbuh 4,22% dari Januari 2014.

Peningkatan utang jatuh tempo ini akan memperbesar kebutuhan valas di pasar domestik. Ini semakin memperbesar tekanan terhadap rupiah dan perekonomian pada kuartal II 2015. Apalagi, Juni nanti merupakan periode repatriasi aset atau pembayaran dividen, kupon, royalti, dan lainnya ke investor di luar negeri. "Tekanan semakin besar, nilai tukar rupiah bisa melemah lagi," kata ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih.

Apalagi, bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) masih berkomitmen menaikkan suku bunga. Meski belum jelas waktu pelaksanaannya, tapi ada sinyal kenaikan akan terjadi bertahap mulai kuartal II atau III tahun ini. Gubernur BI Agus Martowardojo mengingatkan, dengan berbagai faktor di atas, pelaku pasar domestik harus siap-siap rupiah akan terdepresiasi lagi.

Agus menandaskan, BI berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar, sehingga pelemahan tak terlalu dalam. Namun, dia juga berharap pengusaha tak panik dengan depresiasi itu. Kepanikan akan mendorong orang berlomba-lomba memburu dollar AS, sehingga tekanan pada malah rupiah makin besar.

Butuh pencegahan

Lana memperkirakan, kondisi rupiah di Juni 2015 akan lebih parah dibanding Maret. Maret lalu, rupiah sempat terpuruk ke kisaran Rp 13.200 per dollar AS. Rata-rata kurs tengah rupiah di BI pada Maret Rp 13.069,86 per dollar AS, anjlok dibanding Februari yang masih Rp 12.749,84.

Lana enggan memprediksi pelemahan rupiah mendatang. Namun, berkaca dari Juni tahun lalu, rata-rata nilai tukar rupiah anjlok hampir 500 poin dibandingkan Maret. "Jika tidak diantisipasi, pelemahan tahun ini bisa lebih besar dari tahun lalu," tandas Lana.

Pemerintah dan BI, ujar Lana, harus mengambil langkah nyata pada April dan Mei nanti untuk memperkuat rupiah. BI harus memanfaatkan momentum stabilitas rupiah belakangan ini untuk memperkuat nilai tukar. Bank sentral harus intervensi sehingga rupiah kembali di bawah Rp 12.800 per dollar AS.

Pemerintah harus gencar mendekati Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan asosiasi pengusaha agar mau melakukan lindung nilai (hedging). Lalu, lanjutkan lagi kebijakan debt to equity ratio (DER) yakni pembatasan rasio utang (pokok dan bunga) yang pernah berlaku pada era Menteri Keuangan Agus Martowardojo.

"Sekarang, pemerintah bisa memberikan DER 3x (pembayaran utang 3x dari ekuitas) jika telah melakukan hedging, tapi bagi yang tidak hedging, cukup 2x saja," terang Lana.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menambahkan, pemerintah harus segera merealisasikan rencana kebijakan yang selama ini digembar-gemborkan. Terutama kebijakan pemberian insentif pajak (tax allowance) bagi investor yang melakukan reinvestasi. Kebijakan ini bisa mengurangi arus repatriasi aset yang akan terjadi Juni. Selain itu, pemerintah harus memperbesar pembiayaan asing yang bersifat langsung. Investasi langsung harus diperbesar untuk mengurangi porsi hot money.

Untuk hal ini, pemerintah harus segera merealisasikan pembangunan infrastruktur yang selama ini dijanjikan. "Pembangunan infrastruktur akan membawa lebih banyak investasi langsung," tandas David.

Para ekonom meyakini jika pemerintah melakukan persiapan matang, pelemahan rupiah hanya terjadi pada Juni. Selanjutnya, nilai tukar rupiah akan menguat dan pada akhir tahun bisa di bawah Rp 12.800 per dollar AS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie