Belakangan ini, makin banyak orang membicarakan Jaminan Hari Tua (JHT) namun masih bingung dengan istilah ini. Bagaimana dengan Anda? Mengacu aturan baru, Peraturan Pemerintah (PP) No. 46/2015, JHT merupakan manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap. Setiap perusahaan alias pemberi kerja wajib mendaftarkan diri dalam program JHT ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan (BPJS KT). Setiap orang yang bekerja juga wajib mendaftarkan dirinya ikut program JHT yang dikelola BPJS KT. Iuran JHT yang harus disetor sebesar 5,7% dari nilai upah pegawai. Nilai iuran itu dibagi dua, sekitar 2% ditanggung pekerja dan 3,7% ditanggung perusahaan pemberi kerja. BPJS KT mengelola dan menginvestasikan uang iuran JHT tersebut pada instrumen-instrumen investasi berdasarkan aturan PP No. 99/2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Asal Anda tahu, singkatnya ada empat PP baru yang bakal menjadi dasar operasional BPJS KT. Keempatnya adalah PP Program JHT, PP Program Jaminan Pensiun, PP Program Jaminan Keselamatan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM), serta revisi PP Pengelolaan Aset. Ketiga PP terdahulu sudah terbit, sementara yang terakhir belum. Padahal, PP pengelolaan aset tak kalah penting. PP ini akan mengatur penempatan dana investasi BPJS KT. PP pengelolaan aset mengatur detail setiap program. Misalnya saja, dalam program JHT, BPJS Ketenagakerjaan hanya boleh menginvestasikan dananya di instrumen tanah, bangunan, atau tanah dan bangunan, paling tinggi 5% dari jumlah investasi (lihat tabel). Demikian pula program pensiun dan JKK & JKM. Terdapat rambu-rambu investasi secara detail yang masing-masing dijelaskan pada pasal tertentu. Di dalam PP tersebut juga diatur mengenai dana operasional BPJS KT yang mengambil dari Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebesar 10% dari iuran JKK & JKM, serta 2% dari akumulasi iuran dan dana hasil pengembangan JHT. Berapa besarnya porsi yang bisa diambil untuk operasional BPJS KT ini ditetapkan oleh kementerian yang membawahi ketenagakerjaan dan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) setiap tahun. Poin baru PP investasi Rencananya, paling cepat sebelum akhir bulan ini PP Pengelolaan Aset itu sudah terbit. Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Dumoly Pardede mengatakan, PP masih ada di Kementerian Hukum dan HAM saat ini. “Untuk proses harmonisasi,” ujarnya, Kamis (9/7). Sofyan Djalil, Menteri Koordinator Perekonomian, menjelaskan, salah satu poin pokok penting dalam instrumen investasi adalah porsi investasi di tanah, bangunan, atau tanah dan bangunan. BPJS KT, kata Sofyan, mengusulkan porsi investasi di properti diperbesar dari 5% menjadi 30% dengan rincian investasi langsung 10% dan investasi tidak langsung 20%. Investasi tidak langsung ini maksudnya, investasi properti melalui perbankan, pembelian surat utang, atau obligasi perusahaan pengembang. Alasannya, ini berkaitan dengan beberapa manfaat baru yang akan diberikan BPJS KT yang berkaitan dengan perumahan. “Supaya pekerja yang belum punya rumah bisa memanfaatkan dana mereka di BPJS Ketenagakerjaan untuk membeli rumah atau membiayai kredit rumah susun,” tuturnya. Kepada KONTAN, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G. Masassya menambahkan, perubahan alias revisi PP Pengelolaan Aset penting dilakukan lantaran berkaitan dengan manfaat-manfaat baru yang ditambahkan ke dalam masing-masing program. Contohnya saja, program JHT. Sebelumnya, manfaat JHT hanya aspek finansial saja. Lantaran aspek finansial, yang diterima para peserta program JHT hanyalah duit. Namun, karena semangatnya kesejahteraan dasar dan bukan hanya finansial, peserta program JHT akan mendapatkan manfaat akses ke perbankan, pinjaman perumahan, serta kartu serba guna alias multi-purpose card. Dengan kartu ini, peserta JHT bisa mendapatkan diskon belanja serta tarif transportasi. Poin penting lain, pada PP baru tersebut juga terdapat beberapa ketentuan
rebalancing portofolio investasi, terutama program JKK dan JKM. Intinya, lebih memprioritaskan porsi deposito dan obligasi untuk peningkatan likuiditas. Kebijakan ini mirip dengan revisi PP No. 22/2004 sehingga menjadi PP No. 99/2013. Opsi tambahan lainnya, lanjut Elvyn, porsi lebih besar pada penempatan di surat utang negara (SUN). Tujuannya, negara bisa mendapatkan pendanaan dan manfaat lebih besar dari BPJS KT. Namun, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, berharap, PP baru nanti jangan terlalu kaku. Maksudnya, imbal hasil dari hasil penempatan investasi BPJS KT hanya ditempatkan di instrumen-instrumen yang imbal hasilnya kecil. Alhasil, imbal hasil yang diperoleh pekerja juga mini. “Harus berani membuka investasi ke instrumen yang imbal hasilnya lebih baik. Bagaimana bisa mendukung kinerja, jika imbal hasilnya 10%–11%?” tanya Timboel.
Akan tetapi, lanjutnya, BPJS Ketenagakerjaan tetap harus hati-hati. Selain harus tetap mengikuti regulasi, sistem pengawasan juga harus ditingkatkan. “Karena selama ini instrumen-instrumen itu banyak yang tak terawasi,” imbuhnya. Tahun ini Elvyn optimistis, BPJS KT mampu mencapai target dana kelolaan sebesar Rp 220 triliun. Dari hasil investasi, ia menargetkan meraup Rp 20,2 triliun, naik 16,7% dibandingkan akhir 2014 lalu sebesar Rp 17,3 triliun atau sekitar 9,25% dari total dana kelolaan. Laporan Utama Mingguan Kontan No.42-XIX, 2015 Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi