KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saya bergabung dengan PT Indika Energy Tbk sejak tahun 2004. Saya sebelumnya menjabat sebagai Chief Financial Officer (CFO) pada 2017. Baru sekitar satu tahun yang lalu saya ditunjuk sebagai Chief Executive Officer (CEO). Sebelum saya bergabung di Indika pada 2004, saya bekerja di sebuah perusahaan multinasional. Waktu itu saya sudah berkawan dengan teman-teman di Indika. Saya merasa Indika punya semangat kekeluargaan yang kental. Ini yang tidak saya temukan ketika bekerja di perusahaan multinasional. Sehingga saya tertarik. Saat ini, Indika masih menghadapi tantangan. Terkait kinerja perusahaan, kinerja di 2018 lebih baik dari tahun sebelumnya. Tapi di kuartal satu 2019, karena fluktuasi harga batubara cukup besar, ini berdampak pada laba bersih. Laba bersih turun cukup drastis.
Sebenarnya bila melihat kinerja operasional, volume produksi relatif stabil. Tetapi harga jual mengalami penurunan. Salah satu komponen yang cukup besar mempengaruhi adalah peningkatan biaya produksi, yakni untuk pembelian solar. Usaha untuk menurunkan biaya terus dilakukan. Selain itu, kami juga mulai melakukan usaha untuk mengurangi dampak fluktuasi harga batubara pada keuangan perusahaan. Salah satu caranya melalui diversifikasi investasi. Jadi di 2017 lalu, kami meningkatkan kepemilikan di Kideco Jaya Agung. Tapi ke depannya, kami belum akan melakukan investasi lanjutan di sektor batubara. Kami coba diversifikasi ke sektor lain yang serupa.
Ke depan, di 2023, kami ingin kontribusi bisnis
non energy related ke pendapatan bersih mencapai 25%. Tapi kami juga sadar tidak bisa langsung banting setir. Kami berpuluh-puluh tahun di bisnis energy related, seperti Petrosea, ya pahamnya yang seperti itu. Karena itu, dalam melakukan perubahan, kami tetap memperhatikan kompetensi yang kami miliki. Jadi kami masuk ke bisnis yang serupa. Salah satu pilihannya adalah emas. Jadi kami lihat sektor yang kami memiliki kompetensi di situ, namun tidak berkolerasi dengan industri batubara, sehingga bisa mengurangi risiko fluktuasi harga. Selain itu kami juga menjajaki bisnis
fuel storage. Awalnya kami juga mendapat kesempatan untuk melakukan distribusi dan pemasaran fuel. Marginnya potensial. Tapi DNA bisnisnya terlalu berbeda. Jadi kami tidak ambil. Kami pilih mengoperasikan infrastrukturnya saja, sehingga kami tidak ikut menanggung risiko pasar. Kami juga menjajaki teknologi disruptif. Tahun lalu kami membentuk anak usaha di bidang teknologi informasi (TI). Pertama, ada Zebra Cross Teknologi (Zebra X), yang bergerak di bidang implementasi industri 4.0. Saat ini masih untuk memenuhi kebutuhan internal, jadi kami tes di dalam dulu, baru nanti dicoba di luar. Kedua, ada Xapiens Teknologi Indonesia. Ini dulunya divisi TI Indika. Tahun lalu kami spin off jadi anak usaha.
Setelah rapat umum pemegang saham (RUPS) lalu, kami dari manajemen Indika berkumpul, membicarakan tema organisasi yang gesit (agile organization). Kami ingin input yang ada di pasar bisa cepat kami tanggapi. Dengan demikian, Indika secara organisasi tidak stagnan. Kami juga dorong bagaimana manusia-manusia yang jadi sumber daya menghadapi perubahan. Bagaimana caranya agar bisa memberi dampak positif ke perusahaan? Salah satunya silo mentality harus dibongkar. Apalagi Indika memiliki sekitar 8.000 karyawan yang terbagi di anak-anak usaha. Karena memang tahun ini akan lumayan berat. Ada ketidakpastian harga batubara, kondisi geopolitik juga tidak jelas. Jadi kami mulai siap-siap. Di 2017-2018 ketika harga batubara naik, kami fokus meningkatkan produksi. Saat harga batubara fluktuatif, kami efisiensi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hasbi Maulana