JAKARTA. Industri batubara tengah diterpa badai beberapa waktu belakangan. Hal ini dapat dilihat dari tertekannya harga batubara dunia dalam dua tahun terakhir. Sebagai gambaran saja, industri di sektor ini mengalami era kejayaannya pada tahun 2011. Pada periode tersebut, harga rata-rata batubara sempat menyentuh level US$ 127,05 per ton. Ini merupakan level tertingginya sejak 2009 silam. Ketika itu, harga tertinggi batubara berada di level US$ 81,35 per ton. Namun, krisis ekonomi yang melanda dunia menyebabkan tingkat permintaan batubara menurun. Hasilnya, harga batubara terus melorot. Pada 2012, harga batubara menyentuh harga tertingginya pada level US$ 112,87 per ton ton. Sementara pada 2013 harga tertingginya pada level US$ 90,09 per ton. Level harga tersebut bahkan tidak melebihi harga rata-rata batubara pada 2010 sebesar US$ 91,74 per ton. Sejumlah analis menilai, harga batubara belum menunjukkan tanda-tanda untuk bangkit dalam jangka pendek. Adhe Mustofa, analis Asjaya Indosurya Securities mengatakan, jika beberapa waktu terakhir harga batubara sedikit merangkak, itu hanya karena adanya
seasonal trend, yaitu musim dingin yang terjadi di Eropa paling tidak hingga akhir tahun ini. Tapi, dua belas bulan berikutnya, Adhe memprediksi akan terjadi
oversupply batubara.
"Jadi, harga akan terhambat naik. Itu menjadi katalis negatif," tukas Adhe. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) dalam situs resminya menjelaskan, tahun ini diperkirakan produksi batubara Indonesia mencapai US$ 450 juta ton. Dengan produksi sebanyak itu dan kondisi pasar yang seperti ini maka bisa dipastikan ke depannya harga batubara akan menemukan keseimbangan harganya yang baru, dalam artian harga yang lebih rendah. Sementara, Wilson Sofan, analis Reliance Securities bilang, tidak ada yang bisa meramal kapan tekanan ini bakal berakhir. Tapi, jika melihat kondisi saat ini, tekanan tersebut bakal terjadi dalam kurun waktu yang berkepanjangan. Terkait dengan Indonesia, dia menambahkan, China memang hanya menggunakan sekitar 2% dari total ekspor batubara Indonesia. Tapi, sebagian besar ekspor batubara Indonesia itu ke China. "Katakanlah China mengurangi setengah permintaannya dari Indonesia. Buat dia kecil, tapi buat kita artinya kehilangan setengah omzet penjualan," tutur Wilson kepada KONTAN. Outlook harga batubara Saat ini, harga batubara untuk kontrak pengiriman Desember 2013 di ICE Futures, Senin (2/12), turun 0,35% menjadi US$ 85,20 per ton. Dengan demikian, dalam sebulan, harga batubara naik tipis 0,53%. Analis Philip Futures Juni Sutikno mengatakan, permintaan batubara dari Benua Eropa untuk kebutuhan musim dingin meningkat di akhir tahun. Alhasil, harga batubara bisa menguat dalam jangka pendek. Selain itu, impor batubara dari China sebagai salah satu konsumsen terbesar emas hitam ini juga meningkat sepanjang Oktober. Data terbaru Bea Cukai China menyebutkan, tingkat impor batubara mencapai 24,37 juta ton di Oktober. Angka impor ini naik 14% jika dibandingkan dengan angka impor batubara pada periode yang sama di tahun lalu. “Kenaikan angka impor dari China tersebut memberi katalis bagi batubara sehingga harganya bisa menguat,” kata Guntur Tri Hariyanto, analis Pefindo kemarin, (27/11). Juni dan Guntur satu suara memperkirakan penguatan harga batubara dalam jangka pendek kemungkinan besar masih akan berlanjut. Guntur bilang, selain masih ditopang oleh permintaan China, batubara juga akan mendapatkan katalis positif dari ekspektasi permintaan impor batubara dari beberapa produsen baja terbesar di India. Salah satunya, Jindal Steel. Meskipun demikian, Guntur memperkirakan, kenaikan harga batubara tidak akan besar. Meskipun saat ini tingkat permintaan batubara masih kuat, tingkat pasokan batubara dunia sampai saat ini juga masih tinggi. Akibatnya, potensi penguatan harga batubara sampai akhir tahun tipis. Ia perkirakan hanya akan bergerak di kisaran US$ 87-US$ 88 per ton. “Permintaan dan persediaan batubara sudah seimbang, makanya penguatannya cenderung terbatas,” kata Guntur. Berdampak ke kinerja emiten batubara Penurunan harga batubara secara langsung berdampak pada kinerja sejumlah emiten batubara tanah air. Hal ini dapat dilihat dari laporan kinerja terakhir yang dirilis ke publik. Berdasarkan hasil riset Kontan, mayoritas emiten batubara membukukan penurunan kinerja yang cukup signifikan pada kuartal III lalu. Meski mengalami penurunan, tapi paling tidak kinerja PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA) masih lebih baik dibanding emiten batubara lain yang justru mencatat kinerja keuangan yang negatif. Mengutip laporan keuangan triwulan III PTBA, (30/10), emiten batubara ini membukukan pendapatan Rp 8,12 triliun, turun 6,8% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya Rp 8,72 triliun. Angka tersebut diperoleh dari hasil penjualan ekspor dan penjualan di dalam negeri. Penurunan tersebut pada akhirnya membuat laba bersih PTBA turun 43,6% menjadi Rp 1,24 triliun dari sebelumnya Rp 2,2 triliun. Dengan kata lain, net profit margin (NPM) PTBA turun menjadi 15,3% dari sebelumnya 25,23%. Selain itu, penurunan kinerja juga dialami oleh PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Hingga kuartal III-2013, pendapatannya turun 11,64% year on year (yoy) menjadi US$ 2,43 miliar. Alhasil, laba bersih ADRO pun anjlok 47,21% dari US$ 348 juta menjadi US$ 183,70 juta. Contoh lainnya adalah kinerja PT Harum Energy Tbk (HRUM). Pada kuartal III 2013, emiten batubara ini membukukan pendapatan US$ 666,89 juta, turun 20% jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, US$ 835,08 juta. Sementara itu, jika mengacu target tahun depan, maka pendapatan HRUM diproyeksikan US$ 733,58 juta. Yang menjadi kekhawatiran, penurunan kinerja menyebabkan perusahaan harus mengencangkan ikat pinggang alias melakukan efisiensi dalam hal pengeluaran. Ujung-ujungnya, ada sinyalemen untuk mengurangi jumlah karyawan yang mereka miliki. “Saya mendengar kabar, efisiensi yang dilakukan perusahaan batubara mulai menyasar ke efisiensi karyawan. Bonus karyawannya ada yang dipotong, ada juga karyawan yang dirumahkan," jelas Wilson. KONTAN berhasil mendapatkan informasi adanya efisiensi karyawan yang terjadi di salah satu perusahaan batubara asing, Cokal Ltd, yang juga beroperasi di Indonesia. Sumber KONTAN yang berstatus karyawan kontrak di perusahaan batubara asal Australia itu membenarkan kabar tersebut. Bahkan, dia termasuk salah satu karyawan dengan posisi
field geologist yang dirumahkan. "Saya teken kontrak untuk Juli hingga 23 November. Sampai sekarang belum ada kabar apakah kontraknya mau dilanjutkan atau tidak," tutur sumber KONTAN yang tak mau namanya disebut. Meski demikian, selama dirumahkan dan tidak menerima bonus, dia masih menerima gaji secara penuh. Dia masih lebih beruntung jika dibandingkan dengan sepuluh orang temannya yang sudah berstatus tetap tapi justru terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari Cokal. PHK itu memang tidak dilakukan terhadap karyawan kontraknya lantaran jika hal itu dilakukan, maka Cokal wajib membayar sisa kontrak plus pesangon yang tentunya bukan dalam nominal yang kecil. "Tapi kalau dirumahkan, kan, cuma bayar gaji setiap bulan sampai kontraknya habis," jelas sumber KONTAN. Untungnya, kondisi ini tidak terjadi di emiten batubara dalam negeri. HRUM menjelaskan, aksi merumahkan karyawan seperti itu umumnya hanya bisa terjadi ketika emiten yang bersangkutan sedang mengerjakan tahapan awal eksplorasi sebuah kawasan yang diduga memiliki kandungan batubara. "Tapi, perusahaan kami sudah melewati tahapan itu semua, sekarang tinggal eksploitasinya saja. Jadi, kalau sampai merumahkan karyawan itu enggak, dan bisa dilihat di laporan keuangan kami, kan," tutur Ray Antonio Gunara, Direktur Utama HRUM. Memang, mengacu pada laporan keuangan HRUM triwulan III 2013, arus kas pada pos pemasok & karyawan turun menjadi US$ 489,37 juta dari sebelumnya US$ 561,11 juta. Tapi, karyawan yang dimiliki HRUM tercatat sebanyak 989 karyawan, bertambah 8 orang karyawan jika dibandingkan tahun buku HRUM periode full years 2012. Soal gaji dan tunjangan karyawan HRUM, anggarannya pun membesar dari yang sebelumnya US$ 5,92 juta per September 2012 naik 7% menjadi US$ 6,34 miliar pada periode sama tahun ini. Lalu, anggaran bonus yang dikeluarkan juga meningkat 4% menjadi US$ 2,15 juta dari sebelumnya US$ 2,07 juta. Hal serupa juga terjadi pada PT Eksploitasi Energi Indonesia Tbk (CNKO). "Kondisi kemarin memang sempat mengganggu operasional, tapi kami bisa melewatinya," ujar Adri Cahyadi, Presiden Komisaris CNKO. Itu sebabnya, hingga saat ini, CNKO tidak sampai merumahkan karyawannya. Arus kas yang dibayarkan kepada karyawan selama periode kuartal III 2013 sebesar US$ 37,98 juta, naik dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, US$ 15,76 juta. Karyawan yang dimiliki perusahaan juga meningkat signifikan. Periode September 2013, tercatat ada 530 karyawan. Bandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya ketika CNKO hanya memiliki 183 karyawan. Gaji karyawan CNKO anggarannya juga meningkat menjadi US$ 6,43 juta dari sebelumnya US$ 6,12 juta. Sementara untuk tunjangan, angkanya juga meningkat menjadi IS$ 37,98 juta dari sebelumnya US$ 22,54 juta. Hanya saja, baik HRUM dan CNKO belum berani menentukan target khusus atas
bottom line perusahaan di tengah kondisi yang kurang kondusif seperti sekarang. Menurut Ray, jika kondisi tahun depan tak berbeda jauh dengan kondisi saat ini, tidak menutup kemungkinan kinerja HRUM tahun depan ada di teritorial negatif. Namun, hal ini juga bukan berarti emiten batubara menghentikan aktivitas produksinya. “Produksi harus tetap berjalan,” imbuh Ray. Akan tetapi, demi menanggulangi potensi beban perusahaan yang kian besar, kapasitas produksi batubara HRUM tahun depan diproyeksikan sama dengan tahun ini, sebesar 12 juta ton. "Tidak ada yang bisa meramal kapan tekanan akan selesai. Jadi, kami konservatif saja," tambah Ray. Sebagai langkah antisipasi, anak usaha HRUM yang diakuisisi pada jelang akhir 2012 lalu, PT Karya Usaha Pertiwi (KUP), akan dioperasikan sesegera mungkin. Rencananya, pabrik ini akan mulai beroperasi mulai tahun depan. Saat ini HRUM masih mengurusi Izin Usaha Pertambangan (IUP) KUP yang akan habis masa kontraknya pada 6 Mei 2014 mendatang. Berdasarkan hasil penelitian sementara, kamdungan batubara di situs ini juga memiliki kalori tinggi, 5.800 kkal/kg hingga 6.400kkal/kg, kadar kalori yang sangat diminati bagi pasar batubara China pada 2017 mendatang. Bagaimana dengan CNKO? Ke depannya, manajemen juga terus melakukan beberapa ekspansi strategis demi menghadapi potensi penurunan harga batubara, apalagi jika mengingat produksi batubara CNKO memiliki kadar kalori yang rendah. Salah satunya adalah, dengan menjual listrik ke pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN). Manajemen mengaku, pihaknya sudah mlakukan oenjajakan dengan pihak PLN. Jika proses tersebut selesai, maka manajemen akan menyempurnakan infrastruktur PLTU yang diperkirakan akan memakan waktu sekitar dua tahun. Adapun estimasi nilai investasinya masih sama dengan kebutuhan peningkatan kapasitas PLTU pada umumnya, sekitar US$ 2 juta per 1 megawatt. Adri menambahkan, jika aksi korporasi ini bisa segera terealisasi, maka mulai lima tahun ke depan CNKO punya porsi pendapatan yang seimbang, 50:50, antara pendapatan dari penjualan batubara dan penjualan listrik ke PLN. "Ini juga sekaligus salah satu cara untuk menghadapi volatilitas harga batubara," paparnya. Informasi saja, hingga triwulan III-2013, CNKO mengalami penurunan laba bersih 35,81% menjadi Rp42,04 miliar dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp57,59 miliar. Penurunan ini seiring dengan pendapatan usaha yang turun 19,69% dari Rp1,51 triliun di triwulan III-2012 menjadi Rp1,26 triliun di triwulan III-2013. Apa yang dapat dilakukan? Dalam kondisi seperti ini, Adhe bilang cara yang paling mungkin untuk menghadapinya adalah dengan cara efisiensi. Selain itu, tambahnya, para pelaku di industri batubara juga harus mencermati kondisi pasar dalam negeri. Karena pada dasarnya, kebutuhan batubara di sektor tekstil dan kelistrikan dalam negeri cukup besar. Sementara, dari semua produksi emiten batubara Indonesia, hanya 25% saja yang dijual di dalam negeri. "Jadi, setidaknya para perusahaan batubara bisa memperbesar pasokan batubara ke dalam negeri dengan meningkatkan elektrifikasi dalam negeri melalui pembuatan PLTU batubara," ucap Adhe. Wilson memiliki pandangan senada. Power plant batubara merupakan langkah diversifikasi yang paling mungkin dilakukan. Soalnya, jika emiten batubara mengambil langkah antisipatif jangka pendek dengan melirik pasar lain seperti Amerika Serikat (AS) misalnya, apa yang didapat juga sama saja. "AS ujung-ujungnya lempar batubara ke Asia karena AS sudah mulai beralih ke gas. Jadi, batubara dilihat dari segala sisi itu susah, tidak terlihat bullish. Makanya, akhir-akhirnya hanya bisa dipakai di dalam negeri," jelas Wilson.
Reza Priyambada, Kepala Riset Trust Securities beranggapan, untuk memperbaiki kondisi pasar yang sedang terpuruk seperti ini tidak hanya bisa mengandalkan perusahaan batubara saja, tapi juga peran aktif berbagai pihak termasuk pemerintah. Soalnya, lanjut Reza, batubara hingga saat ini masih menjadi sumber bahan bakar pabrikan yang murah sehingga pasarnya masih akan tetap ada. Bahan bakar gas dan etanol juga sebenarnya termasuk sumber energi murah. Hanya saja, infrastruktur untuk pengolahan sumber daya ini masih terbilang mahal. Jika ada kenaikan harga gas dunia pun bukan karena suplainya di bumi yang sedikit, tapi lebih karena masih minimnya infrastruktur pengolahan sumber daya tersebut. Satu atau dua tahun lagi permintaan batubara bisa kembali meningkat asalkan ada perbaikan ekonomi dari setiap negara. "Tapi balik lagi ke pemerintah negara masing-masing negara untuk membuat perekonomiannya kembali pulih," tambah Reza. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie