Badai PHK di Industri Padat Karya Masih Berlanjut



KONTAN.CO.ID - JAKARTA.Pemutusan hubungan kerja (PHK) kembali mengguncang sektor industri di dalam negeri. Industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, makanan dan minuman  paling banyak melaporkan adanya kasus PHK. Di luar sektor padat karya, PHK menghampiri industri e-commerce, teknologi atau startup hingga perusahaan media.

Sejak awal 2024 hingga saat ini ada sekitar 13.800 pekerja menjadi korban PHK di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dari 10 pabrik di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Publik juga dikagetkan dengan keputusan PT Sepatu Bata Tbk yang menutup pabrik di Purwakarta, Jawa Barat, sehingga berujung PHK terhadap 200 pekerja.

Gelombang PHK setidaknya juga tergambar dari laporan klaim pembayaran jaminan hari tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan. Per Januari hingga April 2024, BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan sebanyak 892.000 klaim JHT dengan nominal pembayaran mencapai Rp 13,55 triliun. Dua kriteria pengambilan JHT terbanyak disebabkan oleh peserta yang mengundurkan diri dari pekerjaan dan mengalami PHK.


Presiden Asosiasi Serikat Pekerja  (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat mengatakan, berdasarkan catatan asosiasi, sejak Januari 2024 sampai dengan Juni 2024 terdapat kurang lebih 5.000 orang pekerja/buruh yang telah di-PHK. Mereka dari berbagai sektor, diantaranya, sektor retail, security dan cleaning service, perbankan, serta telekomunikasi. "Alasan mereka rugi, kalau itu pekerjaannya diputus perusahaan induk karena terkena rugi, kebanyakan seperti itu dan sebagian besar kerja di Jabodetabek," ujarnya kepada KONTAN, Jumat (14/6).

Sementara itu Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri tidak menampik ada pabrik tekstil raksasa di Jawa Tengah yang isunya tengah dalam kondisi sulit, bahkan berencana PHK massal. "Namun, setelah berdiskusi dengan Dinas Ketenagakerjaan setempat, pabrik akhirnya lebih memilih mengurangi fasilitas seperti menghapus bonus karyawan dan lembur ketimbang PHK. "Kita sarankan begitu, daripada PHK, supaya tidak terjadi pemborosan cost of labor cost,," ucap Indah di di Gedung DPR, Kamis (13/6).

Sayang, Indak tak merinci pabrik mana yang dimaksud. Dari catatan, tiga pabrik tekstil terbesar di dalam negeri berlokasi di Jawa Tengah, yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk atu Sritex, PT Duniatex, dan PT Pan Brothers Tbk.

Ketua Komite Tetap Kebijakan Publik Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Chandra Wahjudi menyebutkan, PHK tenaga kerja salat disebabkan oleh turunnya permintaan pasar dunia terhadap produk Indonesia. "Pabrik sepatu dan alas kaki karena banyak ekspor ke negara-negara seperti Eropa dan sebagainya," sebutnya kepada KONTAN, kemarin.

Menurut Chandra, PHK juga tidak terlepas dari perkembangan teknologi dan peralihan bentuk perusahan seperti yang menimpa 450 karyawan Tokopedia dan TikTok. "Peralihan aktivitas produksi yang sebelumnya padat karya menjadi berbasis otomasi," ujar Chandra soal contoh dampak perkembangan teknologi.

Pengamat Ketenagakerjaan Tajudin Nur Efendy mengatakan, PHK terutama di sektor industri padat karya memang tidak bisa dihindarkan. Penyebabnya, faktor ekstersnal yakni ekonomi dunia yang masih fluktuatif ditambah ketegangan geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina dan Isreal-Palestina. "Permintaan dari pasar global atau ekspor untuk produk asal Indonesia ikut terkontraksi," katanya saat dihubungi KONTAN, Jumat (14/6).

Tajudin menjelaskan, untuk faktor internal lebih kepada turunnya daya beli masyarakat. Sejatinya, dari keterpurukan pandemi Covid-10 hingga sekarang perbaikan ekonomi tidak signifikan. Sehingga, tingkat konsumsi masyarakat juga terus melemah karena daya beli anjlok. "Padahal, konsumsi menyumbang 50% terhadap PDPB," jelasnya.

Sementara itu, aneka insentif hingga perlinso dan bansos yang digelontorkan pemerintah, termasuk tunjangan atau THR keagamaan hanya mengungkit daya beli sesaat, "Itupun dipengaruhi momentum seperti Lebaran dan Natal, serta libur tahun baru. Setelah itu, pasar kembali lesu," sebut Tajudin.

Setali tiga uang dengan insentif fiskal yang diberikan pemerintah ke sektor industri padat karya, efeknya pun hanya sedikit. Pasalnya, industri juga sudah banyak menanggung biaya dari mulai kenaikan pajak, kenaikan upah buruh, dan lainnya. Celakanya, inflasi tinggi yang membuat harga barang/jasa naik semakin membebani sektor industri.

Menurut Tajudin, sektor industri padat karya berusaha bertahan dengan situasi perekonomi yang tidak menentu untuk tidak melakukan PHK. Haya saja, sepinya pasar membuat PHK menjadi jalan terakhir untuk menekan beban anggaran. Di sisi lain, saat ini masyarakat juga dihadapkan pada periode tahun ajaran baru, yang mana kebutuhan biaya juga menguras. Artinya, masyarakat mengerek konsumsi karena memprioritaskan kebutuhan sekolah yang saban tahun selalu meningkat.

Celakanya, nilai tukar rupiah juga semakin lemah, karena sudah menyentuh level Rp 16.344 per dolar AS. "Kalau rupiah jebol lebih dari Rp 17.000-an per dolar AS, bisa jadi membuka jurang krisis seperti tahun 1998 lalu," terangnya.

Terkait data pengangguran, Tajudin mengaku agak heran dengan publikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukan angka pengangguran menurun. "Agak aneh karena angka penganguran turun di tengah marak PHK masal," tandasnya.

BPS mencatat pengangguran di Indonesia mencapai 7,20 juta orang per Februari 2024. Angka ini setara dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,82%. Angka pengangguran ini lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya dan bahkan lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pengangguran sebelum pandemi Covid-19 di mana pada Februari 2020 yakni 4,94%.

Tajudin menjelaskan, angka TPT turun karena pada Februari masuk masa tanam,sehingga banyak masyarakat yang bekerja di sektor pertanian. Beda halnya jika publikasi pada Agustus pasti akan tinggi karena masuknya angkatan kerja baru yang beres sekolah atau kuliah dan sedang mencari kerja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dadan M. Ramdan