Badai PHK Masih Mengintai, Pelaku Usaha Berharap Tidak Ada Revisi Aturan Soal Upah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat ini, industri padat karya seperti tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki masih terus dihadapkan oleh ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan. Belum selesai masalah tersebut, mereka juga harus menghadapi ketidakpastian regulasi seiring adanya rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 36/2021 tentang Pengupahan.

Anne Patricia Sutanto, Anggota Dewan Pertimbangan Asosasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyampaikan, kondisi industri padat karya nasional, khususnya TPT yang mencakup garmen dana alas kaki kian mengkhawatirkan di tengah ancaman resesi ekonomi global.

Permintaan dari pasar global, khususnya negara-negara maju, telah dirasakan sejak awal semester II-2022. Terjadi penurunan order sekitar 30%--50% untuk pengiriman akhir tahun 2022 sampai kuartal I-2023 mendatang. Kondisi ini memaksa perusahaan-perusahaan di sektor tersebut untuk mengurangi produksi secara signifikan dan berujung pada pengurangan jam kerja hingga PHK.


Baca Juga: Tolak PP 36/2021, KSPI Usulkan Menaker Terbitkan Permenaker Soal Upah Minimum 2023

Anne yang juga merupakan Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), menyebut sampai saat ini ada 58.572 karyawan di industri TPT yang terkena PHK dari total 146 perusahaan. Ia juga menyebut, terdapat PHK sebanyak 25.700 karyawan di sektor industri alas kaki selama Juli—Oktober 2022 seiring penurunan order 45% dan diikuti oleh penurunan produksi November-Desember sampai 51%.

“Data ini belum mencerminkan seluruh fakta di lapangan karena masih banyak perusahaan yang belum melaporkan kondisinya. Jumlah PHK juga bisa bertambah seiring dampak resesi tahun depan,” ungkap dia dalam konferensi pers, Rabu (16/11).

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum API Jemmy Kartiwa mengatakan, fenomena PHK di industri tekstil tidaklah mengada-ada. Para pelaku industri tekstil pun kesulitan melakukan ekspor karena stok produk di negara tujuan ekspor masih banyak, alias terjadi oversupply. Di sisi lain, pasar domestik justru kebanjiran produk impor dari sesama produsen TPT.

API pun tidak bisa memastikan kapan permintaan ekspor akan kembali tumbuh, karena semuanya bergantung pada kondisi ekonomi global.

"Pelaku IKM yang akan terkena paling duluan kalau terjadi banjir impor pakaian, karena perusahaan-perusahaan besar rata-rata orientasinya ekspor,” ujar dia.

Baca Juga: BPJS Ketenagakerjaan Catat 61% Peserta yang Melakukan Klaim JHT Berusia 20-35 Tahun

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSYFI) Redma Gita Wirawasta menilai, tingkat utilisasi pabrik-pabrik hulu TPT terus mengalami penurunan dari 50% menjadi 30%. Belum ada titik cerah kapan para produsen bisa memaksimalkan lagi kapasitas produksinya.

Di sisi lain, arus kas para produsen TPT, termasuk di sektor hulu, kian menipis. Sebab, di saat produksi turun, mereka tetap harus membayar upah karyawannya yang dirumahkan. Biaya listrik dan sewa juga tetap harus dikeluarkan oleh para pengusaha. “Banyak biaya-biaya yang harus dikeluarkan,” katanya.

Eddy Widjanarko Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) juga mengatakan, fenomena penurunan order yang drastis di industri alas kaki baru terjadi pada tahun ini. Biasanya, para pelanggan Aprisindo dari brand-brand besar seperti Nike dan Adidas selalu menaikkan order 10%--20% di tiap tahunnya.

Kondisi kian pelik karena brand-brand besar tadi meminta supaya seluruh karyawan pabrik alas kaki berstatus sebagai karyawan tetap. Tidak boleh ada karyawan kontrak demi menjaga reputasinya di dunia internasional. “Ketika terjadi PHK karyawan, cari karyawan baru pun akan sulit. Proses training juga akan makan biaya,” imbuh dia.

Di tengah rentetan PHK di industri padat karya, Ketua Umum Apindo Hariyadi B. Sukamdani turut berharap sikap pemerintah untuk konsisten menerapkan PP No. 36 Tahun 2021 yang merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja.

Baca Juga: PHK Melonjak, Klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan Jamsostek Terus Menanjak

Saat ini sedang berhembus isu bahwa ada rencana pemerintah untuk revisi PP 36/2021. Apindo menilai, apabila terjadi perubahan signifikan pada beleid tersebut, seperti penetapan formulasi baru dalam penghitungan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), artinya pemerintah mencederai semangat bersama dalam UU Cipta Kerja.

Padahal, menurut Hariyadi, PP 36/2021 sudah menjadi win-win solution antara pengusaha dengan para pekerja. Aturan tersebut telah memiliki formula perhitungan upah yang lengkap berdasarkan komponen-komponen konsumsi rumah tangga, tingkat kesenjangan antar daerah, hingga inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Rencana revisi beleid ini juga tidak tepat momentumnya di saat para investor global mulai banyak yang melirik Indonesia sebagai tujuan investasinya. Investor tentu tidak ingin keinginannya untuk berinvestasi terhalang oleh ketidakpastian hukum.

“Kami Apindo menolak apabila pemerintah benar-benar melakukan revisi pada PP 36/2021 tersebut,” jelas Hariyadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .