Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Belum Kaji Dampak Implementasi Program B50 Prabowo



KONTAN.CO.ID - BELITUNG. Presiden Terpilih 2024, Prabowo Subianto, menargetkan percepatan penerapan program Biodiesel 50 (B50) pada tahun depan. 

Langkah ini dipandang sebagai bagian dari strategi hilirisasi industri kelapa sawit yang diharapkan mampu memberikan dampak ekonomi signifikan bagi Indonesia.

Namun, Analis Kebijakan Madya Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Nursidik Istiawan, mengakui bahwa pihaknya belum melakukan kajian mendalam terkait dampak rencana ini, termasuk potensi penurunan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya. 


Baca Juga: Program B40 Butuh Lahan Tambahan

"B50 kami belum melakukan perhitungan ke arah sana," ujar Nursidik dalam Press Tour Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian di Belitung, Selasa (27/8) malam.

Kendati demikian, Nursidik memastikan bahwa rencana Prabowo tersebut akan segera dikaji bersama dengan tim pendapatan negara yang telah dibentuk. "Kami coba teliti bersama dengan tim kebijakan APBN, secara bersama-sama," tambahnya.

Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) telah meminta agar Presiden terpilih tidak tergesa-gesa dalam meningkatkan mandatori B50. 

Ketua Umum Gapki, Eddy Martono, menekankan bahwa peningkatan dari B35 menjadi B40 saja sudah memiliki potensi untuk mempengaruhi harga minyak dunia, termasuk minyak sawit.

Menurut Eddy, dengan meningkatkan konsumsi minyak sawit dalam negeri melalui program B40, pasokan minyak dunia bisa terhambat, mengingat Indonesia memasok sekitar 60% CPO di pasar global. 

Baca Juga: Gapki: Perlu Peningkatan Produksi Sawit Untuk Implementasi B50

"Saya melihat program B35 ini sudah cukup baik dengan kondisi produksi saat ini. Kalau untuk ke B40 harus dilihat lagi, apalagi ke B50," jelas Eddy.

Program biodiesel B35 yang saat ini berjalan, menurut Eddy, sudah berada pada tingkat optimal jika dibandingkan dengan produksi CPO nasional. 

Berdasarkan data dari Gapki, program B35 memerlukan sekitar 10,64 juta ton CPO, sedangkan jika naik menjadi B40, kebutuhan CPO akan meningkat menjadi 14 juta ton.

Kenaikan ini diperkirakan akan berdampak pada pengurangan volume ekspor CPO, terutama karena produksi CPO dalam negeri mengalami stagnasi pada kisaran 50 juta ton per tahun. 

"Jika permintaan minyak nabati dunia naik karena suplai tidak memadai, akan terjadi kenaikan harga dunia, termasuk minyak sawit," jelas Eddy lebih lanjut.

Sebagai informasi, Prabowo Subianto memang menargetkan B50 sebagai salah satu program hilirisasi sawit. Awalnya, rencana ini dijadwalkan akan dilaksanakan pada tahun 2029. 

Baca Juga: B50 Diluncurkan, Gapki Minta Target Peremajaan Sawit Rakyat Dikebut

Namun, baru-baru ini, Ketua Umum Partai Gerindra tersebut menginginkan agar B50 dapat diimplementasikan pada tahun depan. 

Menurutnya, percepatan ini akan membantu Indonesia menghemat pengeluaran hingga USD 20 miliar atau sekitar Rp 300 triliun per tahun.

“Energi, kita sebentar lagi tidak perlu impor solar lagi. Solar kita akan datang dari kelapa sawit, namanya biodiesel. Sekarang sudah B35, kita akan percepat jadi B40, B50 minimal. Dengan kita mencapai B50, Biodiesel 50 persen dari kelapa sawit, begitu kita mencapai 50 yang Insyaallah akhir tahun ini, kita akan menghemat USD 20 miliar satu tahun, uang kita tidak perlu kita kirim ke luar negeri lagi,” ungkap Prabowo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .