Mesti Komprehensif Biar Hasilnya Lebih Sip
Dari sekian banyak program yang digadang-gadang pemerintah Joko Widodo (Jokowi), reforma agraria merupakan yang diunggulkan. Program ini termuat dalam Nawacita yang merupakan rangkuman rencana kerja pemerintahan Jokowi dan wakilnya, Jusuf Kalla (JK) . Setelah resmi menjadi presiden, Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2015. Regulasi ini mengatur tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019. Salah satu poinnya menyatakan, pemerintah menargetkan pelaksanaan reforma agraria 9 juta hektare (ha) dan perhutanan sosial 12,7 juta ha.
Program ini punya tujuan yang boleh dibilang mulia. Yakni, menekan kemiskinan, mengurangi ketimpangan penguasaan lahan, dan menyelesaikan konflik lahan yang kerap terjadi. Baik konflik antarmasyarakat, konflik dengan korporasi, maupun sengketa lahan antara masyarakat dengan negara. Jika berjalan dengan sukses, kebijakan ini akan berdampak besar. Pakar Agraria Syaiful Bahari mencatat, problem terbesar kebanyakan petani kita adalah soal penguasaan lahan yang tidak memadai. Rata-rata penguasaan lahan oleh petani cuma 0,2 ha. Padahal, idealnya untuk di Jawa kepemilikannya 2 ha dan 5 ha untuk petani di luar Jawa. Kepemilikan lahan yang minim berkorelasi dengan kesejahteraan petani. Dus, dengan memberikan akses terhadap kepemilikan, persoalan ini diharapkan bisa dituntaskan. Redistribusi tanah Kini, sudah tahun keempat Jokowi memerintah Indonesia. Namun, banyak kalangan menilai program reforma agraria belum bergulir dengan baik. Dampaknya belum terlihat lantaran reforma agraria tidak cuma soal redistribusi tanah. Masyarakat, termasuk petani yang mendapatkan tanah dari negara, masih perlu mendapat sokongan. Mulai dari akses teknologi, bibit, pemasaran, permodalan, dan pengembangan usaha pertanian. Nah, sokongan pasca redistribusi tanah ini yang belum lagi terlihat gaungnya secara masif. Dewi Kartika memiliki sejumlah catatan lain atas pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), itu menyebut, salah satunya terkait kebijakan yang tidak sinergis antar kementerian yang terkait. Reforma agraria paling tidak berhubungan dengan tiga kementerian, yakni Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dan Kementerian Desa. Kebijakan yang tidak satu pintu membuat koordinasi dan masalah birokrasi yang sudah lama mendera, kembali menjadi persoalan. Ketiga kementerian ini, kata Dewi, terkesan berjalan sendiri-sendiri. Upaya untuk mensinkronkan derap langkah pemerintah baru terlihat Mei tahun lalu. Saat itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengambil-alih kendali koordinasi program reforma agraria. Mantan Gubernur Bank Indonesia itu mengeluarkan Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 73 Tahun 2017 yang bertajuk Tim Reforma Agraria. Namun, kehadiran tim ini juga tidak mampu menyelesaikan persoalan agraria secara tuntas. Yang muncul dan marak di permukaan malah sekadar program bagi-bagi sertifikat tanah.
(Baca: Bagi Sertifikat Biar Penerima Naik Derajat) Tim Reforma Agraria bentukan Darmin ibarat obat pereda nyeri. Penyakit sesungguhnya baru bisa diobati dengan kehadiran badan khusus pelaksana reforma agraria. Desakan untuk menghadirkan lembaga khusus ini sudah ada sejak lama. Pasalnya, ia dipercaya bisa menyelesaikan persoalan koordinasi dan kewenangan yang menyebar di berbagai kementerian. Hingga akhirnya keberadaan lembaga khusus ini diakomodir lewat Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria. Sayangnya, meski digadang sejak 2015 silam, sejauh ini regulasi itu masih berstatus rancangan. Walhasil, kehadiran lembaga khusus pelaksana reforma agraria yang dinantikan juga masih sebatas rencana. Dampaknya, semua kementerian berjalan sendiri-sendiri. Kementerian LHK menetapkan objek Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dengan kriterianya sendiri. Sementara Kementerian ATR juga punya kriteria sendiri. “Ketika masyarakat mengusulkan tempat, nggak nyambung antara yang dibuat di atas dengan usulan di bawah. Tiga tahun ini kita masih berdebat di mana sih tanahnya,” tandas Dewi. Dus, daripada berlarut-larut, Dewi mengusulkan agar pengusulan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) menggunakan skema bottom up. Masyarakat mengajukan usulan, lalu pemerintah melakukan validasi. Reforma agraria juga belum terlalu menampakkan tajinya lantaran operasionalisasinya tidak difokuskan pada kawasan yang menyimpan konflik. Sejatinya, program reforma agraria bertujuan mengurangi ketimpangan penguasaan lahan dan menekan konflik tanah. Maka, fokus di kawasan konflik akan menyelesaikan dua persoalan sekaligus. Tumpang tindih lahan dan penguasaan yang sedemikian luas oleh korporasi. Lalu, menyelesaikan persoalan petani gurem yang tidak memiliki akses ke tanah. Penyelesaian konflik lahan juga bisa dilakukan jika pemerintah melakukan audit menyeluruh terhadap tanah-tanah berstatus hak guna usaha (HGU). Jika ditemukan ditelantarkan atau peruntukannya tak sesuai ketentuan, HGU tersebut lantas dicabut. Atau, dengan mengurangi luasannya. Catatan Syaiful, di Jawa Barat saja, terdapat sekitar 2 juta hektare lahan HGU yang terlantar. Lahan tersebut kini sudah diduduki oleh masyarakat. Nah, jika HGU ini dievaluasi, pemerintah bisa menarik kembali lahan tersebut. Untuk kemudian diserahkan kepada masyarakat yang sudah mendiami wilayah tersebut. “Kalau memang perusahaan perkebunan itu tidak mampu untuk mengelola lahan HGU itu, ya, harus dikembalikan pada negara. Nah, negara nanti memberikan akses lahan tersebut kepada masyarakat,” tandas Syaiful. Belum tuntas Pemerintahan Jokowi juga menjalankan program perhutanan sosial. Namun program yang menjadi andalan untuk redistribusi tanah ini juga bukan hal yang istimewa. Ini merupakan program lama yang diwarisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Belakangan, program ini memancing kritik lantaran tidak mampu menyelesaikan masalah. Namun program ini tetap dilanjutkan tanpa perubahan berarti oleh pemerintah sekarang. Ide dari program perhutanan sosial adalah menyerahkan pengelolaan kawasan hutan ke masyarakat di sekitarnya yang kurang mampu. Kawasan hutan diberdayakan dengan partisipasi penuh masyarakat agar bisa menghasilkan nilai ekonomi, tanpa mengenyampingkan perlindungan dan fungsi hutan untuk kelestarian lingkungan hidup. Perhutanan sosial digelar melalui berbagai skema, mulai dari hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat. Hingga akhir Januari 2018, luasan perhutanan sosial sudah mencapai 1,42 juta ha. Kementerian LHK tahun ini menargetkan tambahan alokasi kawasan hutan seluas 2 juta ha untuk program perhutanan sosial. Hingga tahun 2019, ditargetkan luasannya sudah mencapai 4,3 juta ha. Awalnya, program perhutanan sosial melingkupi lahan seluas 12,7 ha. Namun, kata Siti Nurbaya, Menteri LHK, berdasar tinjauan terkini, yang paling mungkin hanya seluas 4,38 juta hektare. Cuma, masih ada persoalan di program ini. Salah satu titik lemah perhutanan sosial di mata Dewi adalah tidak semua masalah agraria dapat diselesaikan dengan program ini. Pasalnya, ada sekitar 33.000 titik di kawasan hutan yang kini sudah berubah menjadi desa.
Kondisi di lapangan tempat-tempat itu tidak bisa lagi disebut hutan. Dus, tanpa segera dilepas dari klaim kawasan hutan maka sulit berharap ada solusi yang menyeluruh.
Berikutnya: Bagi Sertifikat Biar Penerima Naik Derajat Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 19 Februari - 25 Februari 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Mesti Komprehensif Biar Hasilnya Lebih Sip" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga