Bagi hasil migas untuk pemerintah cuma 79%



JAKARTA. Formula bagi hasil minyak dan gas sebesar 85% untuk pemerintah dan 15% bagian kontraktor migas asing nyatanya tidak seperti yang diharapkan. Secara riil, pemerintah hanya menerima bagi hasil sekitar 79% atau berkurang sekitar 6%.

Salah satu sebab berkurangnya penerimaan adalah pajak yang dibayarkan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) migas asing terikat traktat pajak (tax treaty) dengan sejumlah negara asal perusahaan migas asing. Beberapa negara asal perusahaan migas asing menganut aturan Inggris (British law) yang memberlakukan pajak atas bunga dividen dan royalti (PDRB) sebesar 10%, lebih rendah dari ketentuan yang berlaku di Indonesia sebesar 20%.

Lantaran mereka memakai tarif negeri asalnya, tarif PDBR pemerintah berkurang dari 20% menjadi 10%. "Itu mengurangi bagi hasil kita sekitar 6,5%," kata Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany, Senin (25/7).


Selama ini, penerimaan negara tersebut langsung masuk ke Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. Dari jatah sebesar 85% itu, sebagian besar dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak, dan sebagian lainnya berupa Pajak Penghasilan (PPh) migas. "Teman-teman di pajak tidak pernah mengurus PPh migas. Jadi, tidak ada penyimpangan di Direktorat Jenderal Pajak, tidak ada urusannya sama kami," tutur Fuad.

Menurut Fuad, selama belum ada renegosiasi tax treaty tersebut, dalam beberapa tahun ke depan kasus perbedaan perhitungan bagi hasil ini masih akan terus terjadi.

Meski masih terjadi perselisihan, Fuad kembali menegaskan akan tetap mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) kepada kontraktor migas yang dianggap masih kurang membayar pajak. Dasar hitungan Ditjen Pajak adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Seperti diketahui, hasil temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan ada sekitar 14 KKKS asing dianggap masih kurang bayar pajak mencapai Rp 1,6 triliun. Tunggakan pajak ini adalah tunggakan sejak tahun 1991 hingga tahun 2008.

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pengawas Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2010, ke-14 perusahaan itu antara lain Exxon Mobile, ConocoPhilips, dan BP Berau. Namun jumlahnya sekitar Rp 1,4 triliun.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern LKPP Tahun 2010, BPK mengungkapkan monitoring dan penagihan atas kewajiban PPh Migas tidak optimal sehingga terdapat selisih kewajiban PPh Migas sebesar Rp 1,25 triliun yang tidak dipantau. Selain itu, ada kekurangan PPh Migas sebesar Rp 2,60 triliun belum ditagih. Sayangnya, catatan BPK, tidak ada instansi pemerintah yang melakukan rekonsiliasi atas perselisihan pembayaran pajak tersebut.

Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Evita Legowo masih enggan menjelaskan tentang bagi hasil migas pemerintah yang ternyata di bawah kontrak. "Ceritanya panjang," kata Evita.

Peluang tangan besi

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, sebenarnya pemerintah berwenang melakukan sejumlah tindakan yang tergolong keras kepada para penunggak pajak.

Di pasal 1 ayat 9, wewenang pemerintah mulai dari menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melakukan penyitaan, hingga menyandera dan menjual barang yang telah disita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Edy Can