CARACAS. Pada pekan ini, pemerintahan Donald Trump mengambil langkah tak biasa dengan mendeklarasikan pembekuan aset Presiden Venezuela Nicolas Maduro yang berada di bawah yurisdiksi AS. Tak hanya itu, AS juga menerapkan pelarangan kerjasama bisnis dengan Maduro. Sanksi ini terlihat sangat nyata. Apalagi, hampir smeua media dalam dan luar negeri memberitakannya. Maduro kini menjadi anggota keempat yang masuk dalam klub eksklusif pemimpin diktator yang dikenai sanksi oleh AS. Dia bergabung dengan pemimpin Suriah Bashar al-Assad, pimpinan Korea Utara Kim Jong Un, dan pimpinan Zimbabwe Robert Mugabe. "Maduro bukan hanya pemimpin yang buruk, dia juga seorang diktator," demikian pernyataan Presiden AS Donald Trump.
Namun, kebijakan luar negeri AS ini mendapat kritik dari sejumlah pengamat politik. "Maduro akan menertawakan hal ini. Ini tidak akan berdampak banyak," jelas David Smilde, pengamat dari Tulane University di Venezuela. Venezuela memang melanggar batas dengan jelas. Belakangan ini, Maduro menjadi pemimpin yang sangat tidak populer sejak dia menjabat sebagai presiden di 2013. Banyak rakyat kelaparan. Rumah sakit kehabisan obat. Aksi unjuk rasa sudah berlangsung selama empat bulan. Dari kejadian tersebut, 120 orang tewas sehingga dunia internasional pun mengecam kejadian ini. Selain itu, pada pekan lalu, Maduro melakukan hal fatal yang berpotensi merusak demokrasi di negara tersebut. Dia menggelar pemilu yang menciptakan kongres yang sangat kuat dan diisi oleh para pendukungnya. Istrinya terpilih, demikian pula putranya. Saat pemilu berlangsung, mayoritas jalanan di Venezuela tampak sepi. Namun Maduro mengklaim, 40% warga Venezuela memberikan suaranya. Sanksi yang diberikan AS tidak akan menghentikan semua kekacauan yang terjadi di negara ini. Kebijakan ini bahkan semakin membantu Maduro bahwa ekonomi Venezuela hancur bukan karena salah manajemen, melainkan karena Amerika tengah mengincar dirinya, dengan menyabotase perekonomian di setiap titik. Lihat saja dengan apa yang terjadi pada 2015, saat pemerintahan Obama mendeklarasikan bahwa Venezuela menjadi ancaman bagi keamanan nasional. Pada saat itu, Obama juga memberikan sanksi kepada tujuh pejabat tinggi Venezuela karena melanggar hak asasi manusia. Maduro, yang saat itu popularitasnya tengah memudar, langsung mendapat banyak suara dalam pemilihan presiden. Sanksi yang diberlakukan membuat Maduro bisa memberikan contoh nyata mengenai aksi
bully kaum imperialis. Banyak warga Venezuela yang akhirnya berbalik mendukung Maduro. Pemerintah Obama belajar dari hal ini dan tidak lagi menggunakan sanksi kepada Venezuela. Kendati demikian, perekonomian Venezuela terus memburuk. Hampir tiga perempat warga Venezuela kehilangan berat badan dan 80% suplai obat-obatan sudah hampir habis. Dengan adanya pemerintahan baru AS di bawah Trump, sanksi diberlakukan kembali. Acap kali sanksi ini diterapkan, hal ini memberikan kesempatan kepada Maduro untuk menyalahkan pihak lain dibanding dirinya sendiri atas kekacauan ekonomi dalam negeri. Saat AS memberikan sanksi kepada wakil presiden Venezuela atas dugaan keterlibatannya pada perdagangan obat-obatan, Maduro meresponnya dengan memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada tangan kanannya. Saat AS memberikan sanksi kepada pejabat senior Venezuela karena korupsi, Maduro memuji mereka di acara televisi yang disiarkan secara langsung. Saat AS memberikan sanksi kepada anggota Mahkamah Agung Venezuela karena membubarkan Kongres, Maduro memuji mereka dalam acara publik. Jadi, sangat masuk akal jika saat anggota Kongres AS menerapkan sanksi baru, warga Venezuela langsung menanggapinya sebagai bahan candaan.
AS tidak memukul Maduro di mana negara ini akan terpukul dengan sangat keras, yakni pada perdagangan minyak. Hampir seluru pendapatan ekspor Venezuela berasal dari minyak. Dan AS merupakan pelanggan utama mereka. Embargo minyak dinilai akan lebih dramatis dibanding sanksi yang diterapkan pada Senin lalu. Sehingga saat ini, Maduro masih bisa mengangkat hidungnya tinggi-tinggi. "Berikan saja sanksi ke pihak manapun yang Anda inginkan! Warga Venezuela sudah memutuskan untuk merdeka, dan saya memutuskan untuk menjadi presiden orang yang merdeka," teriaknya dalam sebuah siaran televisi.
Editor: Barratut Taqiyyah Rafie