Bagini dampak krisis utang Evergrande bagi China, AS, hingga Eropa



KONTAN.CO.ID -  SANGHAI. Krisis utang Evergrande China telah memberikan dampak ke berbagai saham dan bisnis sektor-sektor terkait. Saham para pemasok bahan bangunan untuk proyek properti Evergrande telah turun hingga dua digit secara year to date (ytd), mengutip Bloomberg pada Minggu (26/9). 

Kreditur, investor, dan pemasok dari perusahaan yang diperangi dan rekan-rekannya berada di urutan teratas kena dampak. Tak sampai di situ, industri Amerika Serikat (AS) juga diproyeksi menerima pukulan keras. Sekitar 10% eksposur penjualan produsen industri AS ditujukan China seperti General Electric dan Caterpillar.

Ukuran Evergrande ditambah dengan pengawasan ketat Beijing terhadap sektor real estat akan terus memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengembang properti ke depannya. Evergrande memiliki aset sekitar CNY 2 triliun atau setara US$ 310 miliar. 


Nilai itu berkontribusi 2% dari produk domestik bruto China, menurut perhitungan Goldman Sachs Group Inc. Sehingga apapun langkah yang diambil perusahaan itu dapat mengganggu pasar.

Citigroup Inc menyebut terlepas dari apa yang terjadi pada Evergrande, harga rumah China sekarang berisiko mengalami penurunan yang berarti. Bahkan. Indeks Properti Hang Seng turun ke level terendah dalam lima tahun awal bulan ini. 

Indeks 12 anggota termasuk Country Garden Holdings Co., yang kehilangan 25% sejak akhir Maret, dan China Overseas Land & Investment Ltd., yang turun 16%.

Lebih jauh, saham perusahaan yang telah meminjamkan uang atau berinvestasi di perusahaan real estat China akan tetap bergejolak. Lantaran investor akan mempertimbangkan potensi lonjakan kredit macet dan penurunan aset.

“Sementara pembuat kebijakan diharapkan untuk memberikan dukungan, beberapa bank mungkin menjadi korban. China Minsheng, Ping An Bank dan China Everbright memiliki risiko tertinggi bagi pengembang,” tulis analis Citigroup termasuk Judy Zhang dalam sebuah catatan pada hari Rabu.

Analisis Citi melihat risiko kredit paling tinggi akan dirasakan oleh China Minsheng Banking Corp, Ping An Bank Co, dan China Everbright Bank Co. Ia melihat Bank of Nanjing Co, Chongqing Rural Commercial Bank Co. dan Postal Savings Bank of China Co masuk ke daftar yang  kurang rentan.

Sedangkan, perusahaan asuransi China telah mempertimbangkan kekhawatiran tentang potensi kerugian penurunan nilai. “Dalam skenario kasus terburuk, Grup PICC akan paling terpukul di antara perusahaan asuransi yang terdaftar. Lalu diikuti oleh Ping An Insurance Group Co,” kata Michelle Ma Citi dalam sebuah catatan pada hari Kamis.

Nilai saham unit Evergrande seperti Evergrande Property Services Group Ltd telah berkurang separuhnya tahun ini. Lalu China Evergrande New Energy Vehicle Group Ltd nilai sahamnya juga turun lebih dari 90%.

Tak sampai di situ, setiap restrukturisasi yang membebani China sebagai ekonomi terbesar kedua dunia akan memberikan dampak melalui saham yang paling sensitif secara ekonomi dan global di Amerika. Perusahaan industri, yang sering dilihat sebagai penentu arah kesehatan ekonomi AS, mungkin akan menerima pukulan paling keras.

Analis JPMorgan Chase & Co Stephen Tusa memproyeksi, produsen industri AS memiliki sekitar 10% eksposur penjualan ke China. Terdapat beberapa saham bakal terdampak yakni General Electric Co, Otis Worldwide Corp, dan Honeywell International Inc. Juga pembuat peralatan dan konstruksi berat Caterpillar Inc.

Di Eropa, krisis Evergrande bergema di seluruh stok bahan dasar. Data yang dikumpulkan oleh Bloomberg menunjukkan China menyumbang 62% dari pendapatan di BHP Group Plc. Lalu sebanyak 58% di Rio Tinto Plc, dan hampir setengahnya di Anglo American Plc dan Glencore Plc. 

Sebenarnya, kekhawatiran bahwa keruntuhan Evergrande dapat memicu penularan keuangan dan mengekang pertumbuhan ekonomi China mengguncang pasar global pada hari Senin pekan lalu.

Kekhawatiran itu berkurang setelah raksasa pengembang ini setuju untuk menyelesaikan beberapa pembayaran bunga wesel lokal. Namun krisis utang ini masih jauh dari selesai lantaran pemegang obligasi dolar belum menerima kupon jatuh tempo hingga saat ini.

Editor: Noverius Laoli