Bahan baku ditahan, produsen baja rugi US$ 100.000



JAKARTA. Perusahaan baja lokal mengaku rugi akibat penahanan besi bekas atau scrap yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Kerugian yang harus ditanggung perusahaan baja itu berasal dari melonjaknya tarif sewa penumpukan kontainer di pelabuhan.

Edward Pinem Direktur Eksekutif Indonesian Iron and Steel Industri Association (IISA), mengatakan, kerugian yang dialami oleh perusahaan pemilik bahan baku besi bekas itu mencapai US$ 100.000.

Perhitungan kerugian mengacu pada biaya sewa gudang di pelabuhan sebesar US$ 50 per kontainer per hari untuk 2.000 kontainer besi bekas yang ditahan petugas. "Sementara tarif sewa gudang berlaku progresif, semakin lama disimpan maka tarif semakin tinggi bisa US$ 60 sampai US$ 75 per hari," ujar Edward, Senin (20/2).


Kerugian produsen baja itu, bermula dari kasus penahanan besi bekas impor dari Eropa itu sejak 4 Februari 2012 lalu. Penahanan besi baja impor itu dilakukan oleh Ditjen Bea dan Cukai dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Dalam pemeriksaan oleh KLH, diketahui besi bekas yang diimpor itu mengandung limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) sebanyak 113 kontainer. KLH mengkhawatirkan, limbah berbahaya itu bisa mencemari lingkungan.

Bagi industri baja nasional, penahanan impor besi bekas tersebut membuat produksi mereka terganggu Edward bilang, sejumlah perusahaan baja sudah hampir kehabisan stok bahan baku scrap.

Ia yakin, stok bahan baku scrap beberpa pabrik baja hanya cukup untuk tiga minggu ke depan. Jika penahanan besi bekas tersebut berlarut, ia khawatir beberapa pabrik baja akan berhenti beroperasi.

Dari 2.000 kontainer besi bekas yang ditahan di pelabuhan, pihak Bea dan Cukai serta KLH hanya mampu memeriksa 25 kontainer per hari. Untuk itu, Edward meminta agar pemeriksaan dipercepat, dengan cara memakai metode sampling.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri