Bahan baku ikut terkerek naik, pengusaha olahan ikan tambak pangkas margin



KONTAN.CO.ID - Cuaca buruk dan gelombang besar yang melanda perairan Indonesia belakangan ini, membuat stok ikan di pasaran, khususnya dari hasil tangkapan laut, langsung turun drastis. Imbasnya adalah bisa ditebak,  harga jual ikan laut pun menjadi melonjak.  

Ini membuat banyak konsumen mulai melirik produk ikan lainnya. Salah satunya ikan dari hasil tambak, hingga akhirnya harga jual ikan hasil tambak, seperti bandeng juga ikut-ikutan terkerek naik.   

Gea Margarani Putri, Marketing Dapur Presto mengamini hal tersebut. Menurutnya, harga ikan bandeng di pasaran sudah mulai naik sejak tiga minggu lalu dan terus berlangsung hingga akhir pekan kemarin (10/8). 


Harganya terkerek antara 20%-25% lebih mahal dari biasanya. Ditambah lagi, ukurannya justru menjadi lebih kecil dari ukuran biasanya.

Fenomena ini tidak lantas membuat Dapur Presto harus mengerek harga jual dari produk bandeng presto. Justru pihaknya lebih memilih mengantongi untung tipis daripada menaikkan harga. Alasannya simpel saja agar tidak mengecewakan konsumen.

Saat ini, produk bandeng presto dari Dapur Presto dibanderol dengan harga Rp 25.000 per ekor. Dalam satu minggu, total kebutuhan ikan bandeng Dapur Presto bisa mencapai 100 ekor.

Untuk bisa memasarkan produk tersebut, Dapur Presto memanfaatkan teknologi digital dalam hal promosi. Seperti lewat media sosial sebagai salah satu saluran penjualan. Tidak jarang pihaknya mengirimkan bandeng  hingga ke Palembang, Lampung, Bali, dan daerah lainnya.

Adapun produk bandeng presto ini tahan sampai enam bulan bila disimpan dalam kulkas (deep frezer) dan selama tujuh hari pada suhu ruangan.

Asriyani pemilik Abon Buass juga merasakan hal yang sama. Rupanya, kelangkaan ikan laut membuat harga ikan tawar juga ikut-ikutan naik. Seperti ikan mas yang naik Rp 2.000 per kg dari harga normal Rp 25.000 per kg. Sudah begitu, ukuran pun jadi mengecil.  

Untungnya, stok ikan mas di wilayah Subang, Jawa Barat, masih aman. Lantaran menjadi pusat tambak ikan air deras. .

Meski begitu, perempuan yang akrab disapa Bu As ini belum mau mengerak harga jual dan tetap menjual abon ikas mas sebesar Rp 15.000 untuk 40 gram dan Rp 30.000 untuk ukuran 80 gram. "Kami sudah mengantisipasi kenaikan harga," tandasnya.

Dalam sehari, ia membutuhkan sekitar 10 kg ikan mas. Seluruh ikan mas terpakai sebagai babah baku abon ikan mas dan kerupuk tulang ikan.

Konsumennya pun tidak hanya dari sekitar Subang tapi juga  Jakarta, Purwakarta, Tangarang,  hingga Sudan dan Jerman.

Asriyani baru menjalani bisnis abon ikan mas selama dua tahun  lamanya. Selain itu ia juga menjual pepes ikan mas.                           

Terkendala harga bahan baku yang tak menentu

Meski kerap pusing dengan naik turunnya harga bahan baku, para pelaku usaha olahan ikan hasil tambak tetap optimistis akan bisnisnya. Sebab, bisnis kuliner yang menggenapi salah satu kebutuhan pokok masyarakat, tak pernah mati.

Gea Margarani Putri, Marketing Dapur Presto menilai, bisnis kuliner tidak akan pernah mati. Alasannya, setiap orang membutuhkan makanan setiap hari. Menu ikan menjadi salah satu alternatif saat bosan dengan menu daging. Apalagi, ikan sering menjadi alternatif saat bosan mengkonsumsi daging.

Kualitas produk pun jadi jurus para pelaku usaha supaya olahannya tetap menjadi pilihan konsumen. "Kualitas tetap menjadi prioritas kami," ujar Gea Margarani Putri, Marketing Dapur Resto.

Selain itu, dia juga aktif berpromosi di berbagai media digital. Di luar itu, Dapur Resto juga rajin mengikuti bazar kuliner, untuk memperkenalkan bandeng prestonya kepada konsumen.

Hingga saat ini memang bahan baku menjadi kendala utama. Selain, pasokan ikan, harga, bahan lainnya yang berpengaruh pada bisnis Dapur Resto adalah cabai.

Meski begitu, "Kami tak ingin mengurangi kualitas dan komposisi penggunaan bahan saat harganya naik," katanya pada KONTAN, Jumat (10/8). Untuk mengamankan kebutuhan bahan baku, Gea bersama tim mengambil dari pasar di sekitar BSD, Tangerang, Banten.

Berbeda dengan Asriyani, pemilik Abon Buass asal Subang, Jawa Barat. Dia mengaku  kesulitan mengembangkan sayap bisnisnya karena keterbatasan modal.

Bahkan, seringkali perempuan berusia 35 tahun ini merasa kesulitan jika banyak pesanan yang datang, sementara modal tak mencukupi. "Saya dan suami menjalankan usaha ini hanya  dengan memutar modal yang ada," tegasnya.

Selain itu, dia juga kesulitan untuk memasarkan produk abon ikan nila produksinya. Sebab, belum banyak konsumen yang terbiasa mengkonsumsi abon ikan. Apalagi, dia harus sering mendengar anggapan bila abon ikan amis.

Untuk mengedukasi pasar, perempuan yang lebih akrab disapa Bu As ini rajin menjelaskan kandungan vitamin dan manfaat yang ada dalam abon ikan miliknya. Dia  juga memberikan tester produk untuk menyakinkan konsumen bila produk buatannya tidak amis.

Disisi lain, dia juga membuat inovasi produk dengan menciptakan tiga varian rasa yaitu original, pedas, dan rendang. Usaha ini dilakukan untuk menarik perhatian konsumen dan membuat usahanya tetap eksis di tengah-tengah ketatnya persaingan.

Selain fokus menjalankan usahanya, Bu As bersama sang suami menargetkan dapat memperluas jangkauan pasar. Media sosial seperti Instagram dan Facebook menjadi media promosi yang banyak digunakan untuk promosi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Johana K.